Suara Tuannya

2019/09/19

This is an Indonesian translation of “His Master’s Voice”, a short story by Hannu Rajaniemi // Ini adalah terjemahan bahasa Indonesia untuk cerita pendek berjudul “His Master’s Voice”, karya Hannu Rajaniemi. // Catatan penerjemah: Klik


Sebelum konser dimulai, kami mencuri kepala tuanku.

Necropolis adalah hutan dengan jamur beton sebagai pohonnya, gelap di bawah malam biru Antarktika. Kami berdempetan di dalam gelembung kabut multiguna, menempel di dinding selatan nunatak—lembah es—yang curam.

Si kucing membersihkan dirinya sendiri dengan lidah merah mudanya. Rasa percaya dirinya berbau menyengat.

“Siap-siap,” kataku padanya. “Kita tidak punya banyak waktu.”

Ia menatapku dengan sedikit kesal sambil mengenakan baju zirahnya. Seakan minyak yang hidup, kain kuantum menyelubungi tubuhnya yang belang. Ia mendengkur dan menguji cakarnya yang berbilah berlian ke es yang mencuat dari batu. Suara itu menggertak gigiku dan membangunkan kupu-kupu bersayap pisau di dalam perutku. Aku menengok ke firewall tanpa celah yang mengelilingi kota kematian. Dinding itu mengilat seperti untaian aurora di visual AR-ku.

Tepat sesuai jadwal, hujan turun dalam fraktal kode. Visual AR-ku mati, tak mampu memproses semua informasi yang turun deras seperti hujan di hutan tropis. Untaian aurora borealis mengedip dan menghilang.

“Ayo!” teriakku pada si kucing. Sebuah kegembiraan yang tak kentara merebak dalam diriku, semangat yang kurasakan ketika berlari mengejar Binatang Kecil dalam mimpiku. “Ayo, sekarang!”

Si kucing melompat ke dalam ruang hampa. Sayap di zirahnya terbuka dan menangkap angin yang tercampur es, dan si kucing mengendarainya turun seperti layang-layang China dengan senyum yang besar di wajahnya.


Sulit mengingat bagaimana semuanya berawal, sekarang. Waktu itu tidak ada kata-kata, hanya suara dan bau: besi dan laut, deburan ombak ke ponton. Dan tiga hal yang sempurna di dunia ini: tempat makanku, Bolaku, dan tangan tuanku yang mengelus leherku.

Sekarang aku tahu bahwa tempat ini adalah anjungan lepas pantai yang dibeli tuanku. Saat kami pertama di sini, baunya tidak enak: minyak dan cairan kimia yang menyengat hidung. Tetapi ada tempat-tempat untuk bersembunyi dan menyembunyikan, ruang dan lorong rahasia. Ada landasan helikopter tempat tuanku melempar bola untukku. Bola itu seringkali jatuh ke laut, tetapi robot-robot tuanku—capung kecil dari besi—selalu mengambilkannya ketika aku tidak bisa.

Tuanku adalah tuhan. Ketika ia marah, suaranya adalah cambuk yang tak terlihat. Baunya adalah bau-tuhan yang mengisi dunia.

Ketika ia bekerja, aku menggonggong ke burung camar atau mengintai si kucing. Kami beberapa kali bekelahi, dan hingga sekarang luka di hidungku masih berbekas. Kami mencapai semacam kesepakatan. Daerah-daerah gelap anjungan ini adalah milik si kucing, dan aku menguasai geladak atas dan langit: kami adalah Hades dan Apollo di kerajaan tuanku.

Tetapi ketika malam tiba, ketika tuanku menonton film-film lama atau mendengarkan musik dengan gramofon tuanya yang berderik, kami bersama-sama duduk di kakinya. Kadang tuanku berbau kesepian, dan ia membolehkanku tidur di sebelahnya di kamarnya yang kecil, membiarkanku meringkuk di dalam bau-tuhan dan kehangatan.

Dunia ini kecil, tapi bagi kami itulah seluruh dunia.

Tuanku menghabiskan banyak waktu dalam pekerjaannya, jemarinya menari di papan ketik yang diproyeksikan di atas meja kayu jatinya. Dan setiap malam ia pergi ke Ruang Itu: satu-satunya tempat di anjungan ini yang tak boleh kumasuki.

Saat itulah aku mulai bermimpi tentang Binatang Kecil. Aku masih mengingat baunya sekarang, memikat dan sulit kujelaskan: tulang yang dikubur dan kelinci yang berlari, tak bisa kuabaikan.

Dalam mimpiku aku mengejarnya menyusuri pantai berpasir, jejak-jejak kecil berliku-liku yang kuikuti hingga mencapai rerumputan yang tinggi. Aku tak pernah kehilangannya lebih dari sedetik: selalu ada secercah bulu putih di pinggiran penglihatanku.

Pada suatu hari, ia berbicara padaku.

“Kemari,” katanya. “Kemari dan belajar.”

Pulau milik Binatang Kecil dipenuhi dengan tempat-tempat yang hilang. Gua yang berliku seperti labirin, garis-garis di pasir yang menjadi kata-kata ketika aku memerhatikannya, bau yang menyanyikan lagu seperti gramofon tuanku. Ia mengajariku, dan aku belajar: setiap kali aku terbangun, aku lebih sadar daripada ketika aku tertidur. Dan ketika kulihat si kucing menatap robot laba-laba dengan ketelitian yang baru, aku tahu bahwa ia juga pergi ke suatu tempat pada malam hari.

Aku mulai mengerti apa yang tuanku katakan ketika ia berbicara. Suara yang tadinya hanya bermaksud amarah atau kegembiraan sekarang menjadi kata-kata tuhanku. Ia sadar, tersenyum, dan mengelus-ngelus buluku. Setelah itu ia mulai lebih banyak berbicara pada kami, aku dan si kucing, dalam malam-malam yang panjang ketika lautan di luar jendela terlihat hitam seperti minyak dan deburan ombak membuat seluruh anjungan berdering seperti lonceng. Suaranya gelap seperti sumur, dalam dan lembut. Ia bercerita tentang sebuah pulau, rumahnya, pulau yang berada di tengah lautan yang luas. Aku mencium kepahitan dalam suaranya, dan untuk pertama kalinya aku mengerti bahwa selalu ada kata-kata di balik kata-kata, tak pernah diucapkan.


Si kucing menangkap angin naik dengan sempurna: ia mengambang diam selama setengah detik, lalu berpegang ke sisi menara. Cakarnya menidurkan beton pintar yang membentuk dinding menara: kode yang membuat bangunan itu mengira si kucing hanyalah burung atau serpihan es yang terbawa angin.

Si kucing mendesis dan meludah. Nanit pembongkar dari dalam perutnya menempel ke dinding dan mulai menghabisi dinding tersebut perlahan. Kami menunggu, dan menunggu. Si kucing mengunci otot eksternal dari baju zirahnya dan, tergantung di situ, menunggu dengan sabar. Akhirnya, sebuah lubang dengan pinggiran tajam menganga di dinding, dan ia menyelundup masuk. Jantungku berdetak kencang ketika aku pindah dari tampilan AR ke kamera di iris si kucing. Ia melintas dalam lorong ventilasi seperti petir, seperti akrobat, dengan kecekatan yang tidak alami, gerakan hiperakselerasi hasil dari pendongkrakan metabolisme. Ekorku menyentak lagi. Sebentar lagi, Tuan, sepertinya. Kami datang.


Aku kehilangan bolaku pada hari ketika tuan yang salah datang.

Aku mencarinya di mana-mana. Aku menghabiskan satu hari penuh mengendus-ngedus semua seluk beluk anjungan ini, bahkan hingga ke lorong-lorong gelap daerah kekuasaan si kucing di bawah geladak, tapi tetap aku tidak menemukannya. Pada akhirnya, aku kelaparan dan kembali ke kabin. Ada dua tuan di dalamnya. Empat tangan mengelus buluku. Dua tuhan, benar dan salah.

Aku menggonggong. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan. Si kucing menatapku dengan rasa kasihan tercampur ketidaksukaan dan mengeluskan badannya ke kaki keduanya.

“Tenanglah,” kata satu dari kedua tuan. “Tenanglah. Kita berempat sekarang.”

Perlahan, aku belajar membedakan mereka: pada masa ini Binatang Kecil sudah mengajariku untuk melihat melebihi bau dan tampang raga. Tuan yang kuingat adalah lelaki paruh baya dengan rambut yang memutih dan tubuh yang kekar. Tuan yang baru masih muda, belum begitu dewasa, jauh lebih langsing dan dengan wajah yang seakan dipahat menjadi malaikat. Tuanku mencoba mengajakku untuk bermain dengan tuan yang baru, tetapi aku tidak mau. Baunya terlalu kukenal, sedangkan hal-hal lain tentangnya terlalu asing. Dalam pikiranku, aku memanggilnya tuan yang salah.

Kedua tuan bekerja bersama, berjalan bersama, dan menghabiskan banyak waktu bersama saling berbicara dengan kata-kata yang tidak kumengerti. Aku iri. Aku bahkan pernah menggigit tuan yang salah. Malamnya aku dikunci di atas geladak sebagai hukuman, walaupun pada malam itu badai mengamuk dan aku takut dengan petir. Si kucing, berbeda denganku, sepertinya senang berdekatan dengan tuan yang salah, dan aku membencinya karenanya.

Aku ingat malam pertama ketika kedua tuan beradu mulut.

“Kenapa kamu melakukannya?” tanya tuan yang salah.

“Kamu tahu,” kata tuanku. “Kamu ingat.” Nadanya suram. “Karena seseorang harus mengingatkan mereka kalau diri kita sendiri adalah milik kita.”

“Jadi, apa, kamu memiliku?” tanya tuan yang salah. “Begitu menurutmu?”

“Jelas tidak,” kata tuanku. “Kenapa kamu bertanya begitu?”

“Harus ada yang mengatakannya. Kamu mengambil algoritme genetis dan menyuruhnya membuat sepuluh ribu dirimu, dengan variasi acak, lalu kamu memilih satu yang terlihat seperti anak ideal bagimu, yang bisa kamu sayangi. Kamu jalankan hingga mesin itu tidak berguna lagi. Lalu cetak. Ini ilegal, tahu tidak? Ada alasannya ini ilegal.”

“Para jamak tidak berpikir demikian. Lagipula, ini tempatku. Hukum yang berlaku hanya hukumku.”

“Kamu terlalu banyak bicara dengan para jamak Mereka sudah bukan manusia.”

“Kamu terdengar seperti robot marketing VecTech.”

“Aku terdengar sepertimu. Keraguanmu. Apa kamu yakin sudah melakukan hal yang benar? Aku bukan Pinocchio. Kamu bukan Gepetto.”

Tuanku diam dalam waktu yang lama.

“Lalu kenapa?” akhirnya ia menjawab. “Mungkin kita butuh Gepetto. Tidak ada yang menciptakan hal baru lagi, boro-boro boneka kayu yang diberi hidup. Ketika aku kecil, kami semua mengira akan datang sesuatu yang menakjubkan. Anak-anak berlian di langit, malaikat dari mesin. Keajaiban. Tapi kami menyerah sebelum peri biru datang.”

“Aku bukan keajaibanmu.”

“Ya. Ya, kamu keajaibanku.”

“Setidaknya buatlah wanita untuk dirimu sendiri,” kata tuan yang salah dengan suara setajam silet. “Mungkin tidak akan semenyusahkan ini.”

Aku tidak mendengar pukulannya, aku merasakannya. Tuan yang salah meringis kesakitan, berlari keluar dan hampir tersandung olehku. Tuanku melihatnya pergi. Bibirnya bergerak, tetapi aku tidak bisa mendengar kata-katanya. Aku ingin menghiburnya jadi kubuat suara-suara kecil, tetapi ia bahkan tidak melihatku. Ia kembali masuk ke kamar dan mengunci pintu. Aku menggaruk-garuk pintu, tapi ia tidak membukanya. Aku kembali ke geladak dan kembali mencari Bolaku lagi.


Akhirnya si kucing menemukan kamar tuan kami.

Ruang itu dipenuhi dengan kepala. Mereka mengambang tanpa badan di udara dalam tabung berkaca berlian. Gedung menara mengeksesuki perintah yang kami kirim ke sistem syarafnya yang terbius, dan salah satu tabung itu mulai mengedip. Tuan, tuan, aku bersenandung kecil saat kulihat wajah biru dinginnya di dalam kaca berlian. Tapi pada saat bersamaan aku tahu bahwa kepala itu bukan tuanku, belum.

Si kucing menggapai dengan tangan prostetiknya. Permukaan kuantum meleleh seperti gelembung sabun. “Hati-hati, hati-hati,” ucapku. Si kucing mendesis marah, tetapi ia menurutiku. Ia menyemprot kepala itu dengan nanit pengawet dan menempatkannya dengan pelan ke dalam ransel berlapis gel.

Necropolis mulai terbangun: kerusakan yang dibuat para peretas surgawi sudah hampir selesai dibetulkan. Si kucing berlari mengikuti rute keluarnya dan mengakselerasi tubuhnya lagi. Aku bisa merasakan detukan stakato dari jantungnya lewat tautan sensoris kami.

Sudah waktunya mendatangkan cahaya. Mataku mempolarisasi menjadi kaca mata hitam. Aku mengangkat pistol elektromagnet yang sudah kusiapkan, sedikit kagum dengan pegangan buatan Rusia yang masih lembut di sentuhanku. Kutarik pelatuknya. Sedikit sentakan, dan segaris cahaya meletus ke langit. Muatan nuklirnya sedikit, tidak lebih dari satu dekaton, bahkan bukan plutonium, hanya bom mikro hafnium. Tetapi itupun cukup untuk, sesaat, menyulut matahari kecil di atas kota mausoleum ini, cukup untuk tembakan maser yang sesaat membuatnya sama matinya dengan penghuninya.

Cahayanya adalah letusan putih, intensitasnya seakan bisa disentuh, lorongnya seakan terbuat dari gading terasah. Gemericiknya mendesis di telingaku seperti si kucing ketika ia marah.


Bagiku, bau bukan hanya sesuatu yang ditangkap indra, tetapi adalah seluruh realitasku. Aku tahu sekarang bahwa ini pun tidak jauh dari kenyataan: bau adalah molekul, sebagian dari benda yang mereka representasikan.

Tuan yang salah berbau berbeda. Pada awalnya ini membingungkanku: hampir bau-tuhan, tetapi tidak juga. Bau tuhan yang gugur.

Dan dia memang gugur, pada akhirnya.

Aku tidur di sofa tuanku saat itu terjadi. Binatang Kecil sedang mengajariku multiplikasi ketika aku tertarik dari mimpi itu, terbangun oleh suara kaki telanjang yang mengendap-ngendap di karpet disertai tarikan-tarikan napas.

Tuan yang salah melihat ke arahku.

“Anak pintar,” katanya. “Ssh.” Aku ingin menggonggong, tetapi bau-tuhannya terlalu kuat. Jadi aku hanya mengibas-ngibaskan ekorku dengan lamban, dengan tidak yakin. Tuan yang salah duduk di sofa di sebelahku dan menggaruk-garuk kupingku sambil melamun.

“Aku ingat kamu,” katanya. “Aku ingat kenapa ia membuatmu. Ingatan masa kecil yang diberi kehidupan.” Ia tersenyum dan baunya terasa lebih ramah daripada sekalipun sebelumnya. “Aku tahu bagaimana rasanya.” Lalu ia menghembuskan napas dan pergi ke Ruang Itu. Lalu aku tahu bahwa ia akan melakukan sesuatu yang buruk, dan aku mulai menggonggong sekeras yang kubisa. Tuanku terbangun, dan ketika tuan yang salah kembali, ia sudah menunggunya.

“Apa yang telah kamu lakukan?” tanyanya, wajahnya seputih kapur.

Tuan yang salah menatapnya tajam. “Yang seharusnya kamu lakukan. Kamu yang melanggar hukum, bukan aku. Kenapa harus aku yang kena imbasnya? Kamu tidak memilikiku.”

“Aku bisa membunuhmu,” kata tuanku, dan amarahnya membuatku merintih ketakutan. “Aku bisa mengaku bahwa akulah kamu. Mereka akan mempercayaiku.”

“Memang,” kata tuan yang salah. “Tapi kamu tak akan melakukannya.”

Tuanku menghembuskan napas. “Tidak,” katanya. “Aku tak akan membunuhmu.”


Aku menaiki pesawat capung ke atas menara krio. Aku melihat si kucing di atapnya dan merengek lega. Pesawatku mendarat dengan halus. Aku tidak begitu berpengalaman menjadi pilot, tapi otak daemon—cetakan ilegal dari seorang pilot jet dari abad ke-21—yang mengoperasikannya lebih tahu dariku. Si kucing memanjat masuk, dan kami melesat menuju ke stratosfer dengan kecepatan Mach 5, angin membelai kulit kuantum pesawat kami.

“Kerja yang bagus,” kataku pada si kucing sembari mengibas-ngibaskan ekor. Ia menatapku dengan mata kuningnya yang sipit, lalu melingkar dan tidur di ranjang gel akselerasi. Aku menengok ke ransel di sebelahnya. Apakah itu semerbak bau-tuhan, atau aku hanya membayangkannya saja?

Apapun itu, baunya cukup untuk membuatku meringkuk dan tidur nyenyak, tidur seekor anjing yang senang. Untuk pertama kalinya selama bertahun-tahun, aku bermimpi tentang Bolaku dan Binatang Kecil, meluncur dalam lengkungan orbit balistik.


Mereka datang dari langit sebelum matahari terbit. Tuanku naik ke geladak memakai setelan yang berbau baru. Si kucing dibawanya di atas tangannya: ia mendengkur halus. Tuan yang salah mengikutinya, tangan dilipat di belakang punggungnya.

Ada tiga mesin: kumbang bertempurung hitam dengan banyak kaki dan sayap transparan. Mereka terbang dengan rendah, meninggalkan semprotan putih di belakangnya. Dengungan sayap-sayap mereka membuat kupingku sakit saat mereka mendarat di geladak.

Kumbang di tengah memuntahkan awan kabut yang berkilau di cahaya yang redup, berputar-putar di udara dan berubah menjadi wanita berkulit hitam yang tidak berbau. Saat itu aku sudah tahu bahwa sesuatu tanpa bau pun bisa berbahaya, jadi aku menggonggong ke arahnya hingga tuanku menyuruhku diam.

“Pak Takeshi,” katanya. “Anda tahu mengapa kita ada di sini.”

Tuanku mengangguk.

“Anda tidak menolak gugatannya?”

“Ya, saya menolak,” kata tuanku. “Anjungan ini secara teknis adalah negara berdaulat, dan hukum milikku lah yang berlaku di sini. Autogenesis bukan tindakan kriminal di sini.”

“Anjungan ini dulunya memang negara berdaulat,” kata wanita itu. “Sekarang anjungan ini adalah milik VecTech. Keadilan datang dengan cepat, Pak Takeshi. Robot hukum kami melanggar konstitusimu sepuluh detik setelah Pak Takeshi—” ia mengangguk ke tuan yang salah—“mengabari kami tentang situasi di sini. Setelah itu, kami tidak memiliki pilihan. Hakim WIPO kuantum yang kami konsultasikan telah menjatuhkanmu hukuman tiga ratus empat belas tahun di zona lamban, dan sebagai pihak yang disalahi, kami telah diberi hak eksekusi untuk hal ini. Apakah Anda ada pesan yang perlu disampaikan sebelum kami melakukannya?”

Tuanku melihat ke tuan yang salah, mukanya memulas seperti topeng dari lilin. Lalu ia pelan-pelan menurunkan si kucing dan mengelus-elus telingaku. “Jaga mereka,” katanya pada tuan yang salah. “Aku siap.”

Kumbang di tengah bergerak terlalu cepat untuk dilihat mataku. Sesaat, genggaman tuanku di kulit kendur leherku mengerat seperti ketika indukku menggigitnya, lalu terlepas. Cairan hangat berhamburan di buluku. Bau darah yang suram dan dalam memenuhi udara.

Lalu ia terjatuh. Aku melihat kepalanya dalam gelembung sabun yang ditelan oleh salah satu kumbang. Kumbang yang lain membuka perutnya untuk tuan yang salah. Lalu mereka menghilang, dan si kucing dan aku berdiri sendirian di geladak yang berlumuran darah.


Si kucing membangunkanku ketika kita sampai di dermaga Marquis de Carabas. Zepelinnya, cerutu kristal yang dilingkari dengan nano-untaian safir bercahaya biru, menelan pesawat capung kami layaknya paus di laut. Kota Cekatan adalah langit berbintang neon, enam kilometer di bawah kami, tertambat ke zepelin dengan tambang lift. Aku bisa melihat laba-laba pengungkit memanjatinya, jauh di bawah sana, dan menghembuskan napas lega. Masih ada tamu yang berdatangan; berarti kita tidak terlalu terlambat. Firewall pribadiku tetap kupasang dengan ketat: aku tahu ada ribuan surel yang menungguku.

Kami langsung menuju ke ruang laboratorium. Aku mempersiapkan alat pemindai sedangkan si kucing mengeluarkan kepala tuanku dengan sangat, sangat, berhati-hati. Sesemak fraktal keluar dari sarangnya di alat pemindai, tiap untainya adalah alat pembongkar seukuran molekul. Aku harus berpaling ketika benda itu mulai memakan kepala tuanku. Curang mungkin, tapi aku berlari kabur ke VR, untuk melakukan yang paling bisa aku lakukan.

Setelah setengah jam, kami pun siap. Nano-fabrikator memuntahkan piringan-piringan hitam dan robot dari zepelin mengangkutnya ke ruang konser. Aku mulai gugup, tetapi kita harus bergegas ke ruang salon untuk memasang make-up. Sang Sersan sudah ada di sana, menunggu kami: dilihat dari puntung-puntung rokok di lantai, dia sudah cukup lama menunggu. Baunya menyengat hidungku.

“Kalian telat,” kata manajer kami. “Kalian tahu kan apa yang akan kalian lakukan? Konser ini lebih banyak dikoarkan daripada pesta ulang tahun kloningan Turin.”

“Baguslah kalau begitu,” kataku selagi Anette menyemprotkan kabut kosmetik padaku. Hidungku tergelitik dan aku bersin. Aku menengok iri ke si kucing: seperti biasa, dia tenang-tenang saja di depan konsultan wajahnya. “Kami lebih populer daripada Yesus.”

Mereka bergegas memasangkan DJ, ciptaan manusia penjahit terakhir di Saville Row. “Ini kulit yang bagus,” kata Anette. “Jati yang sedikit keunguan.” Ia lanjut mengoceh, tapi aku tak mendengarnya. Musik sudah bermain di kepalaku. Suara tuanku.


Si kucing menyelamatkanku.

Aku tidak tahu apakah ia memang berniat menyelamatkanku. Hingga sekarang pun aku selalu kesulitan memahami maksudnya. Ia mendesis padaku dengan punggungnya ditarik ke atas. Lalu ia melompat ke arahku dan menyakar hidungku: cakarnya membakar seperti bara panas. Aku merasa lemah, tapi ia membuatku marah. Aku menggonggong dengan geram dan mengejarnya ke sepanjang geladak hingga akhirnya aku terjatuh, lelah bukan main. Aku pun sadar bahwa aku lapar. Dapur auto di kabin tuanku masih berjalan, dan aku tahu cara memintanya untuk membuatkanku makanan. Ketika aku kembali ke geladak , tubuh tuanku sudah menghilang: robot pembuangan telah melemparnya ke laut. Pada saat itulah aku sadar bahwa ia tak akan kembali.

Aku meringkuk di tempat tidurnya, sendiri di malam hari: bau-tuhannya yang masih tersisa di kasur adalah satu-satunya yang menemaniku. Itu, dan Binatang Kecil.

Malam itu, ia datang padaku di pesisir mimpi, tetapi aku tidak mengejarnya seperti biasa. Ia duduk di pasir, menatapku dengan mata kecil merahnya, dan menunggu.

“Kenapa?” tanyaku. “Kenapa mereka mengambil tuanku?”

“Kau tidak akan mengerti,” katanya. “Untuk sekarang.”

“Aku ingin mengerti. Aku ingin tahu.”

“Baiklah,” katanya. “Semua yang kau lakukan, yang kau pikirkan, yang kau cium—semuanya—meninggalkan bekas, seperti jejak kaki di pasir. Jejak ini bisa kau baca. Bayangkan kau sedang mengikuti anjing lain: kau tahu di mana ia makan dan kencing dan semua hal lain yang ia lakukan. Manusia bisa melakukan itu dengan jejak pikiran. Mereka bisa merekam itu dan membuat dirimu lagi di dalam mesin, seperti orang-orang tak berbau di dalam layar yang tuanmu dulu sering tonton. Tetapi sekarang anjing di layar itu mengira ia adalah dirimu.”

“Walaupun ia tidak berbau?” tanyaku, bingung.

“Menurutnya ia berbau. Dan kalau kau tahu caranya, kau juga bisa memberinya tubuh yang baru. Kau bisa mati dan duplikatmu itu bisa begitu bagusnya menjadi dirimu hingga tidak ada lagi yang bisa membedakannya. Manusia telah melakukan itu begitu lama. Tuanmu adalah salah satu yang pertama melakukannya, jauh di masa lampau. Di tempat-tempat lain yang jauh dari sini, ada banyak manusia dengan tubuh dari mesin, manusia yang tidak pernah mati, manusia dengan tubuh yang kecil dan tubuh yang besar, tergantung seberapa mampu mereka membayarnya. Mereka orang-orang yang telah mati lalu kembali.”

Aku mencoba mengerti: begitu sulit melakukannya tanpa bau. Tapi kata-katanya membangunkan harapan sinting dalam pikiranku.

“Apakah itu berarti tuanku akan kembali?” tanyaku.

“Tidak. Tuanmu melanggar hukum manusia. Ketika manusia menemukan jejak-jejak dalam pikiran, mereka mulai membuat duplikat dari mereka sendiri. Beberapa membuat begitu banyak hingga jumlahnya lebih dari butir pasir di pantai. Kekacauan terjadi. Semua mesin, semua peralatan di manapun, mengandung pikiran mati yang gila di dalam mereka. Para jamak, manusia menyebutnya dalam ketakutan. Dan mereka punya alasan untuk takut. Bayangkan di tempatmu ada seribu anjing, tapi hanya satu Bola.”

Kupingku meringis mendengarnya.

“Itulah yang para manusia rasakan,” kata Binatang Kecil. “Lalu mereka mengeluarkan aturan baru: hanya satu diplikat per orang. Manusia-manusia yang menciptakan cara membuat duplikat—VecTech—mereka mencampurkan cap air ke dalam pikiran manusia, perangkat lunak manajemen hak cipta yang seharusnya menghentikan duplikat tanpa batas. Tapi beberapa manusia—seperti tuanmu—menemukan cara untuk menghapusnya.”

“Tuan yang salah,” kataku dengan pelan.

“Ya,” kata Binatang Kecil. “Ia tidak ingin menjadi duplikat ilegal. Ia melaporkan tuanmu.”

“Aku ingin tuanku kembali,” kataku, amarah dan rindu menghentakan sayapnya di dadaku seperti burung dalam kurungan.

“Begitu juga si kucing,” kata Binatang Kecil dengan halus. Baru pada saat itulah aku sadar bahwa si kucing ada di situ. Ia duduk di pantai di sebelahku, matanya gemerlap di bawah matahari. Ia menatapku dan mengeong, menjanjikan perdamaian di antara kami berdua.


Setelah itu, Binatang Kecil selalu bersama kami setiap malam, mengajarkan kami.

Musik adalah kesukaanku. Binatang Kecil memperlihatkan padaku bagaimana aku bisa mengubah musik menjadi bau dan menjadi pola yang bisa kucari, seperti jejak binatang-binatang raksasa. Aku mempelajari rekaman-rekaman lama tuanku dan pustaka yang luas di meja virtualnya, dan belajar cara mengaransemen mereka menjadi bau-bau yang menurutku indah.

Aku tidak ingat siapa di antara kami yang pertama membuat rencana untuk menyelamatkan tuan kami. Mungkin si kucing: aku hanya bisa berbicara dengannya saat berada di pulau mimpi, ketika aku bisa melihat pikirannya dalam pola-pola di pasir. Mungkin Binatang Kecil, mungkin juga aku. Setelah begitu banyak malam yang kami habiskan membicarakannya, aku sudah tak ingat lagi. Tapi di situlah semuanya bermula, di pulai itu: di situlah kami menjadi panah yang ditembakkan ke satu target.

Akhirnya, kami siap untuk pergi. Robot dan nanofac tuan kami membuat pesawat peluncur terbuka, burung bersayap putih.

Di mimpi terakhirku, Binatang Kecil menyampaikan selamat tinggal. Ia bersenandung kecil ketika aku menceritakan rencana kami padanya.

“Ingat aku dalam mimpimu,” katanya.

“Apa kamu tidak ikut bersama kami?” tanyaku, tarkaget.

“Tempatku adalah di sini,” katanya. “Dan sekarang giliranku untuk tidur, dan untuk bermimpi.”

“Kamu siapa?”

“Tidak semua jamak menghilang. Beberapa kabur ke luar angkasa, membuat dunia baru di sana. Dan perang pecah di sana, bahkan sekarang. Mungkin kalian akan mengikuti kami, suatu hari, tempat anjing-anjing besar hidup.”

Ia tertawa. “Maukah, untuk satu kali lagi?” Ia melompat ke dalam ombak dan mulai berlari, berubah menjadi anjing agung berbulu putih, ototnya meliuk seperti air. Dan aku mengikutinya, untuk satu kali terakhir.

Langit berwarna kelabu ketika kami pergi. Si kucing menerbangkan pesawatnya dengan antarmuka neural, kaca mata pilot di kepalanya. Kami melesat di atas ombak yang gelap and meluncur ke atas. Rakit kami menjadi titik buram kecil di laut. Aku melihatnya mengecil dan mengecil dan tiba-tiba sadar bahwa aku tak pernah menemukan Bolaku.

Lalu terdengar sambaran petir dan kepulan air menembus ke langit di tempat rakit itu tadinya berada. Aku tidak meratapinya: aku tahu Binatang Kecil sudah tidak berada di situ.


Matahari mulai terbenam ketika kami sampai di Kota Cekatan.

Aku tahu apa yang akan kami temui dari pelajaran Binatang Kecil, tapi bentuk sebenarnya belum terbayangkan untukku. Pencakar langit setinggi satu kilometer yang tiap-tiapnya mengusung dunianya sendiri, lengkap dengan matahari plasma buatan dan taman-taman bonsai dan mall miniatur. Setiap gedung merupakan rumah bagi milyaran lilliput kecil, miskin dan cekatan: manusia yang alam bawah sadarnya hidup dalam nanokomputer sekecil ujung jari. Makhluk abadi yang yang tidak mampu mendapatkan sumber daya Bumi yang sesak lebih dari bagian seekor tikus. Kota ini dikelilingi oleh halo dari peri-peri yang gemerlap: moravec kecil bersayap yang beterbangan seperti kunang-kunang humanoid, panas sisa dari tubuh mereka yang terakselerasi menyelimuti kota dengan cahaya redup buatan.

Otak kota menyetirkan kami ke landasan pendaratan. Untung saja si kucing yang menerbangkan pesawatnya: aku hanya bisa melihat benda-benda yang berdengung di luar dengan mulut menganga, takut aku akan tenggelam dalam bunyi dan bau.

Kami menjual pesawat kami dan berkelana di antara kesibukan kota, merasa seperti monster daikaijuu. Agen-agen sosial yang Binatang Kecil berikan pada kami sudah kadaluarsa, tapi masih bisa menenun kami ke dalam jaringan sosial di kota. Kami butuh uang, kami butuh pekerjaan.

Dan begitulah aku menjadi musisi.


Aula dansa adalah hemisfer di tengah zepelin, terisi hingga memenuhi kapasitasnya. Makhluk cekatan yang tak terhitung jumlahnya berkilau di udara seperti lilin hidup, dan pakaian mereka yang berdarah-daging pun tidak kalah eksotisnya. Seorang wanita yang hanya ditutupi daun-daun musim gugur tersenyum padaku. Kloningan Tinkerbell mengelilingi si kucing. Pengawal kami, raksasa obsidian bersenjata, memberi jalan bagi kami hingga ke panggung, tempat gramofon telah menunggu. Sebuah desiran di kerumunan. Udara di sekitar kami dipenuhi dengan hantu, avatar dari jutaan penggemar tak berdarah-daging. Aku mengibaskan ekorku. Bau di sekelilingku begitu memabukan: parfum, tubuh darah-daging, bukan-bau dari tubuh moravec. Dan bau tuhan palsu dari tuan yang salah, tersembunyi di antara semuanya.

Kami naik ke panggung dengan kaki belakang, disokong oleh sepatu prostetik. Hutan gramofon terpampang di belakang kami, terompet mereka seperti bunga dari perunggu dan emas. Kami curang, tentunya: musiknya analog dan gramofonnya memang asli, tapi jeruji di piringan hitam hanya setebal satu nanometer, dan ujung jarum-jarum gramofon diselubungi titik-titik kuantum.

Kami membungkuk dan badai teput tangan dimulai.

“Terima kasih,” ucapku ketika petirnya akhirnya mereda. “Kami sudah sekian lama bungkam tentang maksud dari pengadaan konser ini. Akhirnya, saya bisa memberi tahu Anda sekalian bahwa ini adalah konser amal.”

Aku mencium ketegangan di udara, tembaga dan besi.

“Kami rindu dengan seseorang,” kataku. “Namanya adalah Shimoda Takeshi, dan sekarang ia sudah tak ada.”

Si kucing mengangkat tongkat dirigen dan menghadap ke hutan gramofon di belakang. Aku mengikutinya, dan melangkah ke ruang suara yang kami bangun, tempat musik menjadi bau dan suara.

Tuan kami ada di dalam musik.


Membutuhkan lima tahun manusia hingga mencapai puncak karir kami. Aku belajar untuk menyayangi pada penonton: aku bisa mencium bau emosi mereka dan mencampurkan musik yang paling cocok untuk saat itu. Lalu aku bukan lagi anjing DJ raksasa di antara para lilliput, tapi terrier kecil di antara kaki-kaki manusia yang menari. Karir gladiator si kucing berjalan beberapa lama, tapi lalu ia pun mengikutiku sebagai pemeran di drama virtual yang kuciptakan. Kami memainkan pertunjukan kami kepada orang-orang berdarah-daging yang kaya raya di Kota Cekatan, Tokyo dan New York. Aku melolong pada Bumi di langit di Mare Tranquillitatis.

Tapi aku tahu itu semua hanya fase pertama dari Rencana kami.


Kami mengubahnya menjadi musik. VecTech memiliki otaknya, ingatannya, dan pikirannya. Tapi kami memiliki musiknya.

Hukum adalah kode. Milyaran orang mendengarkan suara tuan kami. Milyaran otak mengunduh paket Hukum Di Rumah yang ditempelkan di dalamnya, memborbardir hakim-hakim kuantum hingga mereka memberikan tuan kami kembali.

Ini adalah hal paling indah yang pernah kubuat. Si kucing mengendap-ngendap di hutan algoritme genetik, membiarkan tema-tema tumbuh lalu menerkam mereka, menghabisinya. Aku hanya mengejar mereka demi kesenangan dari pengejaran itu sendiri, tak peduli apakan aku menangkapnya atau tidak.

Ini adalah pertunjukan kami yang terbaik.

Hanya setelah semuanya usai aku sadar bahwa tidak ada yang mendengarkan. Para penonton berdiri beku. Peri-peri dan orang cekatan mengambang di udara seperti kunang-kunang yang terjebak dalam batu ambar. Moravec mematung. Waktu terdiam.

Suara sepasang tangan, bertepuk.

“Aku bangga padamu,” kata tuan yang salah.

Aku merapikan dasiku dan tersenyum senyuman seekor anjing, ular berbisa melillit di dalam perutku. Bau tuhannya datang dan memberitahuku bahwa aku harus menghempaskan diri ke lantai, mengibaskan ekorku, dan menelanjangkan leherku pada wujud dewata yang ada di depanku.

Tapi aku tidak melakukannya.

“Hai, guguk,” kata tuan yang salah.

Aku menahan geraman kecil yang naik dari tenggorokanku dan mengubahnya menjadi kata-kata.

“Apa yang telah kau lakukan?”

“Kami menjeda mereka. Pintu belakang di perangkat kerasnya. Manajemen hak cipta.”

Wajah jatinya masih terlihat halus: ia tidak terlihat lebih tua daripada saat terakhir kumelihatnya. Ia memakai setelan hitam dan klip dasi VecTech. Tapi matanya terlihat lelah.

“Jujur, aku terkesan. Kalian benar-benar menghapus jejak kalian. Kami kira kalian hanya furry. Hingga aku sadar—”

Petir di kejauhan menyelanya.

“Aku berjanji padanya bahwa aku akan menjaga kalian. Itulah mengapa kalian masih hidup. Kalian tidak perlu melakukan ini. Kalian tidak berhutang apapun padanya. Coba lihat: siapa yang bisa menyangka kalian bisa berhasil sejauh ini? Apakah akan kalian buang begitu saja hanya demi rasa kesetiaan dari insting hewani kalian?”

“Tapi kalian tidak punya pilihan, tentu saja. Rencana kalian gagal.”

Si kucing mendesis seperti uap dari pipa.

“Kau salah,” kataku. “Konser ini hanya untuk mengalihkan perhatianmu.”

Si kucing bergerak seperti api hitam dan kuning. Cakarnya melesat dan kepala tuan yang salah terlepas dari lehernya. Aku merintih dari bau darah yang merusak bau tuhannya. Si kucing menjilat bibirnya. Ada bercak merah di setelan putihnya.

Zepelin tergoyang, zirah pseudozatnya berkelip. Langit gelap di sekeliling Marquis dipenuhi oleh kumbang bernapas api. Kami berlari melewati manusia-manusia yang mematung di ruang dansa dan memasuki laboratorium.

Si kucing melakukan semua pekerjaan yang kasar, membiarkanku lari ke abstraksi virtual. Aku tidak tahu bagaimana tuan kami melakukannya, bertahun-tahun yang lalu, bagaimana ia bisa membongkar cap air anti-duplikasi dari VecTech. Aku tak bisa melakukan hal yang sama, sekeras apapun Binatang Kecil mengajariku. Jadi aku harus curang, aku mencuri beberapa bagian dari tempat lain.

Dari otak tuan yang salah.

Bagian dari diriku yang lahir di pulau Binatang Kecil mengambil alih dan memasangkan kedua pola tersebut, seperti serpihan dari suatu teka-teki. Keduanya pas, dan dalam satu saat yang terlalu pendek, suara tuanku terdengar di pikiranku, nyata.

Si kucing telah menunggu. Ia sudah memakai pakaian tempurnya, dan akupun melakukan yang sama. Marquis de Carabas sekarat di sekeliling kami. Untuk mengirim tuan kami, kami harus melepaskan zirahnya.

Si kucing mengeong pelan dan memberikanku sesuatu berwarna merah. Bola plastik tua dengan bekas-bekas gigitan, baunya seperti matahari dan laut, dengan beberapa butir pasir bederak di dalamnya.

“Terima kasih,” kataku. Si kucing tidak menjawab. Ia membuka pintu ke dalam kulit zepelin. Aku membisikkan satu perintah, dan tuan kami pun berlayar dalam arus neutrino, ditembakkan ke suatu pulau di laut biru. Tempat dewa-dewa dan anjing-anjing besar hidup selamanya.

Kami menyelam ke dalam pintu bersama, masuk ke dalam cahaya dan api.

TAMAT