Lubang Golf Terakhir

2021/04/22

This is an Indonesian translation to “The Final Hole”, a short story by Zack Morrison // Ini adalah terjemahan bahasa Indonesia untuk cerita pendek berjudul “The Final Hole”, karya Zack Morrison. // Original: Click


Tidak ada bulan di langit pada malam musim panas Mayview itu. Udara terasa hangat dan seakan dihantui, seakan dengan menghirupnya saja kamu sudah menjadi makhluk nokturnal, seakan angin membisikkan berbagai macam keisengan, dan di langit cahaya bintang seakan umpan yang dilempar ikan laut dalam yang lapar. Pada malam ini, serangga berdengung, kelelawar beterbangan, dan Klub Aktivitas Paranatural sedang berada di lubang kedua dari terakhir dalam permainan mini golf mereka.

“Ngapain sih kita di sini?” tanya Max sambil bersandar ke stik golfnya seakan stik itu bisa menupang beban emosi sekaligus beban tubuhnya juga. Terakhir kali dia mengayunkan stik golfnya, bolanya memantul dari alis menara badut dan menyemplung ke sungai.

“Kamu cuman kesel,” kata Isabel, yang hidupnya lebih banyak terisi par, “karena kamu kalah terus.”

“Menurutku— Maksudku, nggak seburuk itu, kok,” kata Isaac, yang pernah menonton anime olahraga tentang mini golf dan sekarang jadi harus menyembunyikan antusiasmenya yang bukan main (tidak boleh ada yang tahu tentang antusiasmenya ini; dia takut pengetahuan itu bisa digunakan untuk mengkestrapolasi semua rahasia memalukannya yang tidak dia miliki). “Mini golf, maksudku. Seru-seru aja.”

Ed tidak mengatakan apa-apa, karena dia sudah meninggalkan mereka dari tadi untuk bermain go-kart.

“Maksudku bukan olahraganya. Kalau itu sih emang bisa jadi seru-seru aja.” Max menunjuk ke tengkorak plastik yang ada di pintu masuk, memegang papan yang bertulis WASPADA WAHAI PEMAIN GOLF seakan itu sudah bukti jelas ketidakjelasan semua ini. “Maksudku, buat apa kita di sini?”

Pom Bensin dan Taman Bermain Bisnis Kecil Benson adalah oasis lampu flouresens di pinggiran Mayview yang gelap dan liar. Berkat pemasaran yang cerdik dan taktik-taktik menghindari pajak bangunan, tempat ini menjadi tongkrongan remaja yang cukup populer dan juga menguntungkan bagi pemiliknya. Sejak awal yang sederhana sebagai restoran Burger King palsu, B.K. Benson telah memunculkan pula area mini golf, arkade bermain, trek balap go-kart, arena bowling yang kadang berfungsi kadang tidak, dan jaringan kriminal yang rumit… tapi, berbeda dengan remaja-remaja lain yang lalu lalang di situ, Max dan teman-temannya bukan ke sini untuk bersenang-senang. Mereka di sini untuk suatu misi: misi yang diberikan tanpa aba-aba dari guru supernatural mereka, Pak Spender.

“Ada arwah yang sangat kuat,” Pak Spender bilang pada mereka, “yang tinggal di lubang terakhir.”

Max memimpin teman-temannya mengerang dari kursi belakang mobil. Mereka sedang banyak stres minggu ini, penuh dengan pertempuran sulit dan pertengkaran yang lebih sulit lagi, dan mereka berharap jalan-jalan ini bisa jadi rehat sejenak.

Pak Spender tidak peka akan semua itu dan lanjut bercerita sambil tersenyum, “Kalian harus menarik keluar kekuatannya untuk pertempuran di depan… tapi dia tidak akan muncul kalau kalian tidak bermain satu permainan penuh mini golf bersama. Arwah ini agak pemalu, begitu.” Pak Spender mungkin lalu mengedip sok keren, tapi tidak ada yang tahu karena beliau memakai kaca mata hitam dan lagipula, murid-muridnya sudah tidak memedulikannya lagi.

Tadinya murid-murid ini enggan menuruti sang guru, tapi saat malam belum begitu larut, di dalam gua mini golf yang terbuat dari plastik dan sangat gelap, Pak Spender menghilang, diculik oleh arwah di lubang terakhir. Tentu saja, beliau hanya bisa diselamatkan jika murid-muridnya menyelesaikan satu permainan mini golf penuh (biasanya ceritanya berkahir begini, kan?). Karena Pak Spender adalah satu-satunya yang bisa menyetir mobil dan mengantar mereka pulang, mereka menyanggupi permainan ini.

“Awas saja,” Max menggerutu sambil melipat lengan bajunya agar bisa mencelupkan tangan ke dalam sungai dan mengambil bola golfnya, “kalau ‘kekuatan’ arwah lubang terakhir ini persahabatan, kupentok nih stik golf ke jendela mobil Pak Spender.”

Malam ini Max sedang sial-sialnya. Dia mendapat panggilan Bogeyman dari anak-anak SMA yang sudah bermain dua putaran penuh selagi dia gagal terus-terusan. Lalu karena saking seringnya dia melempar bola golf ke dalam sungai, Max juga memulai perang dengan populasi nyamuk sekitar (yang jumlahnya tidak bisa diremehkan karena banyaknya cahaya terik, genangan air, dan darah remaja di taman bermain itu).

“Pikiran lebih kuat dari raga!” kata Isaac, berusaha membantu. “Kalau gigitannya tidak dipikirkan, pasti tidak akan terasa sakit.” Dia belum sekalipun digigit nyamuk karena kekuatannya membuat kulitnya agak menyetrum, menjadikannya seakan raket listrik berjalan. “Mini golf juga sama. Pikirkan stikmu seperti perpanjangan dari—”

“JADI YANG MANA YANG BENAR?” Max berteriak, memberikan tenaga maksimum ke ayunan stiknya hingga bolanya terlempar ke kegelapan di ujung sana. “DIPIKIRKAN ATAU TIDAK?”

“Kamu kebanyakan berpikir,” kata Isabel, dan Max menjerit.

Butuh waktu lima belas menit lagi sampai Max berhasil mengambil bolanya kembali dari dalam sungai dan menyelesaikan lubang hampir terakhir ini (skornya 100, skor tertinggi yang pernah dia dapatkan dalam apapun). Semenit kemudian, kedua temannya juga menyelesaikan lubang tersebut. Isaac mendapat par; Isabel berhasil mendapatkan skor ajaib yang banyak dispekulasi oleh para ahli tapi belum pernah direalisasikan sebelumnya, Hole In None.

Max menghunuskan kefrustrasiannya ke para nyamuk, mengayun-ayunkan stik golfnya ke mereka walaupun ini tidak ada gunanya sama sekali. “Oke oke oke gue capek jadi yang pertama! Lubang selanjutnya, KALIAN yang mulai, biar GUE yang belajar dari kegagalan KALIAN!”

Isaac dan Isabel saling menatap. Walaupun mereka tidak mau mengakuinya, mereka berdua adalah pendukung terbesar Max di Klub Aktivitas. Keduanya tidak mau melihatnya kesulitan seperti ini. Tanpa berkata-kata, mereka saling mengangguk dan mencapai kesepakatan sunyi: di lubang terakhir ini, mereka tidak akan membiarkan kejadian yang sama berulang lagi.

Jalan di depan mereka cukup panjang, mengitari dan mendaki menara kastil hingga ke atas bentend. Tidak ada yang bicara sepanjang jalan.

Isaac memegang stik golf miliknya dan stik golf yang ditinggalkan Ed seakan dua bilah pedang (“Cuman bercanda aja,” katanya, tapi sebenarnya dia sedang meniru karakter favoritnya dari Mini Driver Matsuo), membiarkan keduanya mengiris dinding di sekitar tangga dan membayangkan percikan-percikan keren muncul dari situ. Dia sedang memutar otak, berusaha mencari cara agar Max bisa melihat betapa Keren-nya mini golf tanpa mengungkapkan ketertarikannya sendiri. Dia memutuskan untuk membiarkan Max mendapat skor par sekali saja.

Isabel terlihat sedang membaca pesan dari Ed (“Coba tebak siapa yang mati di mandi bola ini!”), tapi sebenarnya dia juga sedang melamun. Kalau begini terus, dia pasti akan menang bagaimanapun juga. Tapi lalu dia harus menentukan apa yang harus dirasakannya setelah menang. Isabel tahu Max tidak akan dendam padanya kalau dia menang, akan memberinya selamat dengan tulus, akan berhenti mengeluh agar Isabel bisa menikmati kemenangannya. Tapi ia juga tahu kemenangan ini akan terasa lebih manis jika Max bisa mendapat kemenangannya sendiri. Kalau itu terjadi, Isabel bisa makin sombong tanpa merasa bersalah sama sekali.

Max mengikuti mereka dari belakang sambil menepuk-nepuk nyamuk.

Ketika sampai ke atas benteng, mereka berbelok dan memasuki pintu yang dijaga oleh tak kurang dari selusin kerangka yang memegang papan bertuliskan WASPADA WAHAI PEMAIN GOLF. Lubang terakhir telah menunggu mereka.

Satu karpet hijau membentang lurus di atas benteng, pencemoohan kejam terhadap rumput. Enam meter di depan, menjulang di atas lantai, tantangan terakhir yang harus mereka hadapi telah menunggu. Tantangan tersebut adalah… kincir angin.

“Udah begini aja?” Max menggumam. Lalu, setelah beberapa saat, “… Mini golf ini memang temanya serabutan, ya?”

Isabel menengok ke bawah benteng, ke arah kapal bajak laut di lubang kesebelas. “Mungkin temanya ya memang mini golf?” katanya, lalu mengangkat bahu.

Max menghembuskan napas panjang. “Ya sudah. Kita selesaiin aja, yuk.”

Isaac bermain lebih dulu. Bolanya memantul dari bilah kincir angin pada ayunan pertamanya, tapi pada ayunan keduanya, bolanya berhasil lewat. Dua ayunan kemudian, dan bolanya masuk ke dalam lubang. “Skor bogey,” kata Isaac saat berjalan kembali ke Max dan Isabel. Ia memutar-mutar satu stik golfnya seperti orang yang sok keren di pekan raya. “Tidak buruk untuk tantangan terakhir.” Ia berjalan ke sebelah Max dan bersandar di dinding kastil. “Heh… ‘mini golf’ ini… seru juga.” Isaac mencoba mengadah ke atas untuk melihat bintang, tapi yang dia dapatkan hanya lampu listrik yang silau. “Mungkin akan kucoba lagi… suatu hari nanti,” katanya, matanya menyipit. Max hanya mengernyitkan alis padanya.

Selanjutnya giliran Isabel. “Perhatikan, nih,” katanya, sambil berancang-ancang dengan stik golfnya. Dia dengan sabar mencoba mengayunkan stiknya, lagi dan lagi, lebih lama daripada ancang-ancang yang dia lakukan untuk semua lubang sebelumnya. Kalau memang dia sedang diperhatikan, siapapun itu punya banyak waktu untuk mempelajari tekniknya. Isaac tersenyum. Isabel akhirnya memukul bola dengan stiknya, ayunannya cepat dan pendek. Bolanya terlempar maju, lurus seperti dipanah, melewati bilah kincir angin, menggelinding hingga ke pinggir lubang… dan berhenti.

“AMPAS!” Isabel berteriak sambil menampar tanah dengan stiknya.

“Oof, maaf ya. Semoga lubang selanjutya lebih hoki,” kata Max. “Oh iya! Ini lubang terakhir, ya?” Dia tersenyum seperti badut. Isabel meninju pundaknya.

“Belum juga selesai kukalahin udah nyebelin begitu,” katanya sambil mencibir, tapi lalu ia tersenyum setelah mengalihkan pandangannnya. Sambil berjalan melintasi karpet untuk mendapatkan skor birdie-nya, Isabel menggesekkan stik golfnya di belakang, membuat jalur gelap di atas karpet hijau tersebut. Di menyetuk bolanya hingga masuk ke lubang, lalu berbalik untuk menjulurkan lidahnya ke Max.

Sekarang giliran Max menghadapi lubang terakhir.

Setelah Isabel menepi, Max menaruh bolanya di karpet dan mulai berancang-ancang dengan mengayunkan stik golfnya, berusaha mengimitasi ayunan hampir-sukses yang dilakukan Isabel. Yang lain terdiam, menahan napas mereka. Obrolan remaja-remaja di bawah, suara go-kart di kejauhan, dengungan serangga dan lampu listrik… semuanya bergabung menjadi satu, menjadi dengungan yang seakan bertambah kencang seiring dengan ketegangan di udara. Sebutir keringat mengalir turun dari dahi Max.

Lalu Max mematahkan kesunyian itu.

“Kalian pernah kepikiran nggak, kenapa ada mini golf tapi nggak ada versi mini dari olahraga lain?”

Isabel tersenyum. Dia tahu Max jadi cerewet kalau sedang gugup. “Tidak, Max,” jawabnya. “Kita tidak serusak itu.”

“Aku cuman ngerasa, kalau memang ada yang namanya keajaiban, pasti sudah ada yang menciptakan baseball dengan bajak laut dan naga sekarang,” kata Max sambil melakukan satu ayunan ancang-ancang.

Little League?” tanya Isaac, berusaha membantu.

Max mendengus. “Nggak usah lucu-lucu sama aku, Saac.”

Isaac tersandung-sandung saat berusaha menjawab, mukanya makin memerah dengan setiap kata yang berhasil dia utarakan. “Aku, aku nggak— Kita berdua kan— Kamu— Aku— Kamu— KAMU TUH YANG LUCU!”

Pipinya meledak seperti supernova. Tawa Isabel menggema ke seluruh area mini golf.

“Oke deh. Little League. Memang ada yang namanya keajaiban, ayo!” teriak Max sambil memukul bola dengan stik golfnya, berusaha menyamakannya dengan pukulan Isabel. Bolanya terlempar maju, mengikuti jalur yang masih terlihat di karpet. Isaac langsung memusatkan perhatiannya. Bolanya meluncur, menuju ke lubang terakhir… tapi bilah kincir angin bergerak menghalanginya. Ketiga bocah ini menarik napas mereka. Bolanya tidak akan berhasil lewat.

Lalu tiba-tiba, angin malam berhembus, menangkap bilah kincir angin, dan memutarnya lebih kencang, memberikan celah yang dilewati bola Max. Isabel menahan napasnya, menunggu yang masih bisa terjadi dalam beberapa detik ke depan. Bolanya melamban, menggelinding hingga sampai ke pinggiran lubang terakhir, diam di situ untuk beberapa saat, lalu, terjatuh ke dalamnya.

“HOREEE!!” Ketiga anggota Klub Aktivitas melompat ke udara lalu terjatuh sambil saling berpelukan. Ucapan saling selamat dan ungkapan ketidakpercayaan dengan cepat berubah menjadi canda dan tawa. “Berarti aku yang menang kan? Kayak dapet golden snitch, gitu?” kata Max sambil tersenyum. Isabel meninju pundaknya, tapi lebih ringan sekarang. Senyuman Max membesar. “Bercanda kok,” katanya. “Selamat ya, Isabel. Isaac.” Max menepuk keduanya di punggung dan berjalan melintasi karpet untuk mengambil bolanya. “Bentar, ya!”

Sejenak kemudian, Isabel dan Isaac saling menatap dan memberi pandangan nakal. “Cuacanya lagi enak ya malam ini, Saac? Berangin gitu,” kata Isabel sambil tersenyum.

“Kita berdua tahu kamu pasti bisa dapat lubang itu dengan hanya sekali ayunan,” kata Isaac, memberinya senyum yang sama. “Kamu hanya mau mencari alasan untuk bisa membuat garis di karpet yang bisa diikuti Max.”

Isabel mengangkat kepala, pura-pura terlihat geram. “Wah, Isaac ternyata ya! Kamu kira dia sepayah itu, sampai butuh petunjuk untuk mengikuti garis lurus?”

Mereka saling menatap untuk sejenak, lalu tertawa kembali. Isabel mendekat dan berbisik, “Bolanya nggak kamu setir pake angin juga kan? Nanti dia nangis kalau tahu. Oke, jangan dijelasin. Aku juga nggak mau tahu.”

Di sisi lain atap kastil itu, Max membungkuk untuk mengambil bolanya. Ia tersenyum lebar. “Terima kasih ya, kalian,” bisiknya sambil menatap ke teman-temannya. Di antara kegagalan berkali-kalinya, dia sudah lupa hal yang terpenting dari semua ini…

Bahwa Pak Spender diculik oleh arwah kuat yang seharusnya muncul setelah mereka menyelesaikan satu putaran penuh permainan mini golf.

PUK!

Max terkaget, langsung mengingat alasan mereka berada di sini.

PUK!

Dia menarik tangannya dari luang terakhir, sekaan takut lubang tersebut akan menggigit jarinya. Itu masih sangat mungkin terjadi!

PUK!

Max jatuh tersungkur dan merangkak berlari kembali ke teman-temannya. Isabel dan Isaac sudah mengangkat stik golf mereka seperti senjata.

PLAK!

Pak Spender mencuat keluar dari belakang kincir angin, tempat dia sudah berdiri selama sejam terakhir sambil bermain Scrabble di ponselnya.

“Kerja yang bagus, anak-anak,” katanya sambil bertepuk tangan dengan lamban. “Misi selesai. Kalian sudah berhasil mendapatkan kekuatan arwah yang paling kuat… kekuatan kebersamaan!”

Sambil mengangkat stik golf mereka dan berkata-kata kasar, ketiga anggota Klub Aktivitas menyerang guru mereka… bersama.

TAMAT