Keindahan dalam Tanah
2020/08/03
This is an Indonesian translation of “So Much Beauty in Dirt”, a short story by Ryan Koyanagi// Ini adalah terjemahan bahasa Indonesia untuk cerita pendek berjudul “So Much Beauty in Dirt”, karya Ryan Koyanagi. // Original text: Click
Chang hampir selesai dengan shift kerjanya ketika ia menemukan gerbang ke neraka. Hal paling bijak yang bisa ia lakukan adalah lari. Beres-beres dan pergi. Tutup lagi lubang itu, ambil bayaranmu, langsung berkemas ketika sampai di rumah, dan tinggalkan kota sebelum subuh. Chang adalah orang yang bijak. Kalau kamu tinggal di pertambangan itu selama dia, kamu juga pasti akan belajar menjadi bijak. Sayangnya, ia juga orang yang baik.
“Jangan jalan ke ujung terowonganku,” ia bilang pada Li. “Berhenti di tengah-tengahnya, lalu buat terowongan lagi. Bilang saja kamu sedang mengikuti sumber bijih yang baru.”
Li sepuluh tahun lebih muda. Ia baru saja kembali ke kampung halamannya setelah gagal memulai hidup baru di Shanghai. Berbeda dengan di kota, selalu ada kerja di pertambangan. Tentu saja, kalau ia bijaksana, ia akan pindah ke Taiyuan saja, tapi lalu apa serunya? Setidaknya menambang batu bara menarik.
“Kenapa?”
“Pokoknya jangan. Tutupi lubangnya.”
“Iya, tapi kenapa?”
“Gas,” kata Chang selagi berjalan ke atas.
“Kalau begitu lapor ke mandornya, bukan ke aku,” kata Li selagi berhenti.
“Akan kulaporkan sekarang.”
“Ini bukan karena gas, ya?”
Sayangnya, Li bukan orang yang bijak.
“Anjrit.”
“Puas?” kata Chang, sambil memperlihatkan gerbang hitam itu ke Li. “Sekarang bantu aku menutupnya lagi.”
Semilir angin panas melolong pada mereka.
“Bapak nggak mau kasih tahu siapa-siapa?”
Chang menjatuhkan batu di depan gerbangnya. “Mau kasih tahu siapa? Kalau tambang ini tutup, kota akan kelaparan. Sekarang bantu aku menutupnya.”
“Sudah pernah masuk ke dalamnya belum, Pak?”
Chang terus menumpukkan batu mengelilinginya. “Jelas belum.”
“Terus bagaimana kita tahu kalau pintu itu menuju ke neraka?”
Gerbang itu menjerit.
“Itu,” kata Chang. “Angin panasnya juga belum berhenti, kalau kamu belum sadar.”
Li mengeluarkan HP dari saku bajunya.
“Kamu mau apa?”
“Kalau gerbang ini memang benar ke neraka, masalahnya nggak akan selesai kalau tambang ini ditutup.” Ia mengambil foto. “Kampret. Pencahayaannya payah banget di sini. Kelihatan nggak kalau ini gerbang ke neraka?”
“Jangan ganggu dia dan dia tidak akan mengganggumu,” saran Chang.
“Ikatin ke pinggangku,” kata Li sambil memberikan Chang tali keselamatannya. “Kalau talinya kusentak dua kali, tarik aku kembali.”
Chang menamparnya.
“Agh!”
“Jangan bodoh. Bantu aku menutupnya lagi.”
“Bukan aku yang bodoh,” kata Li. “Bapak yang bodoh. Batu biasa tidak akan menghentikan apapun yang keluar dari situ.”
“Ini bukan untuk menghetikan sesuatu keluar dari dalam situ. Itu terserah Tuhan,” katanya. “Ini untuk menghetikan siapapun yang mau masuk.”
Li mencoba memikirkan jawaban yang bagus. Karena tak ada yang muncul di kepalanya, ia mencari tiang yang kuat untuk mengikatkan tali keselamatannya.
“Apa kataku tadi?” kata Chang sambil menamparnya lagi.
“Aw! Jangan pukul terus, Pak.”
“Bantu aku menutupnya lagi.”
“Oke, oke,” kata Li sambil mengambil sebuah batu.
Chang memerhatikannya.
“Lihat? Menutupnya lagi. Seperti maumu.” Ia berjalan pergi dan mengambil batu lagi.
Chang terus memerhatikannya.
Li memasang sebongkah batu lagi di depan gerbangnya. “Masih menutupnya,” katanya. “Bapak juga akan bantu, kan?”
“Lepaskan dulu ikatanmu,” kata Chang sembari menghadap ke belakang untuk mengambil batu lagi.
Talinya menegang ketika ia selesai mengutarakannya. Li menghilang. Ia mengumpat pada dirinya sendiri. Chang meraih talinya dan sambil mengancang kakinya, ia mulai menarik. Ia menampar Li lagi ketika ia sampai kembali ke depan gerbang.
“Sudah kubilang jangan masuk ke dalam sana!”
“Hei! Hei! Udah!” Ia beranjak setelah Chang berhenti menamparnya dan menyentuh memarnya. “Sakit, tahu.”
“Sudah kubilang,” kata Chang, duduk di lantai. “Sudah kubilang jangan masuk ke sana.”
“Tidak jauh-jauh, kok,” kata Li.
“Halo, ada apa di situ?” panggil Huang. Ia bersama Chou, dari terowongan sebelah.
“Gerbang ke neraka,” kata Chang dan Li.
“Anjrit.”
Belum juga setengah jam, tetapi setengah dari semua penambang di situ sudah berkumpul di depan gerbang itu.
“Jadi, sekarang apa?” tanya Wang. Wang, yang kepalanya sudah mulai botak, telah menghabiskan lebih banyak hidupnya di bawah tanah daripada di atas.
“Tutupi lagi,” kata Chang. “Tutupi semua terowongan ini. Lupakan semua ini pernah ada.”
“Para pejabat di atas sana tidak akan senang,” kata Chou. “Kita banyak menemukan sumber yang bagus di sini.”
“Cukup banyak untuk menjalankan tambang ini,” timpal Huang. Huang dan Chou sudah bekerja bersama selama tujuh tahun. Chou tertarik dengan keuangan, Huang punya kepala yang dipenuhi ide-ide besar. Tinggal lima belas tahun lagi dan mereka akan punya cukup dana untuk membangun perusahaan mereka.
“Katakan saja ada gas di sini,” kata Chang. “Atau langit-langitnya terlalu lemah. Apapun agar tidak akan ada lagi yang kemari.”
“Memangnya mereka akan berhenti mengirim kita ke sini karena masalah macam itu?” tanya Wang. “Kita sudah terperangkap di sini.”
“Karena itu, makanya kita harus lihat di dalam sini ada apa,” kata Li.
“Atau kita bisa tutupi saja lubangya,” kata Huang.
“Itu apa kataku,” kata Chang.
“Katamu juga menutupinya tidak akan menghentikan apapun yang keluar dari dalam,” tunjuk Li.
“Tidak ada yang keluar dari dalam situ,” kata Wang. “Katamu kamu tidak melihat apa-apa di dalam.”
“Bukan berarti memang tidak ada apa-apa,” kata Li.
“Kita bisa robohkan saja,” kata Chou.
“Kalau ternyata gerbang ini yang menghentikan mereka, gimana?” kata Li.
“Hm.”
“Kalau dirobohkan, mereka malah akan lebih mudah ke sini.”
Chang berdiri.
“Mau apa kau, Chang?”
“Menutupinya lagi,” jawabnya. “Kita hanya berputar-putar kalau kita membahasnya.”
“Sebentar sebentar,” kata Li. “Kapan kita setuju menutupinya?”
“Memang belum,” kata Chang. “Tapi kita tidak perlu menyetujui apapun.”
“Kita harus yakin ini aman dulu,” kata Li. “Kalau tidak, menutupinya tidak akan mengubah apapun.”
“Menutupinya tidak pernah mengubah apapun,” kata Chou. “Itu hanya agar hati kita tenang saja.”
“Berarti, kalau memang ada sesuatu di dalam sanna, apapun itu bisa masuk ke sini kapan saja, baik ditutupi atau tidak,” kata Wang.
“Benar,” kata Li. “Chang, hentikan. Coba dengarkan.” Ia berusaha menghadang jalannya ke gerbang itu.
“Kalian semua tidak mengerti apa yang kalian katakan.” Chang berjalan mengitarinya.
“Tunggu, dengarkan dulu.” Li menggelayur kembali ke depannya. “Kita rekam film, buat banyak cetakannya, pasang di Youtube. Biar para Amerika itu sadar. Lalu pemerintah harus ambil aksi serius. Kita dipindahkan. Gratis. Tidak ada dari kita yang bisa pindah dengan uang yang kita punya. Mereka akan pasang tentara di sini, kalau-kalau ada yang terjadi. Semuanya akan beres.”
“Youtube?”
“Aku ada kenalan, oke?” katanya. “Jangan beri tahu si mandor. Dia bakal paksa kita di bawah sini terus. Sesuatu terjadi, ‘Kecelekaan di Pertambangan Membunuh 50 Orang,’ dan selesai sudah. Ini cara paling aman untuk melewatinya.”
“Lalu orang Amerika akan apa?” tanya Chou. “Dunia tidak bergerak seperti itu.”
“Mungkin bukan Amerika. PBB. Wartawan Tanpa Batas. Seseorang. Chang, serius, jangan menutupinya lagi. Itu tidak membantu.”
“Dewasalah sedikit,” kata Chou. “Mereka tidak peduli dengan kita.”
“Tapi layak dicoba,” kata Li. “Kita bisa tutup lagi lubangnya setelah kita lihat-lihat, oke, Chang?”
“Aku tidak akan membiarkanmu mati di dalam sana,” kata Chang.
“Kita tetap saja akan mati kalau kita tidak mengeluarkan bukti,” kata Li.
Chang kembali menumpukkan batu ke depan gerbang itu.
“Anjir,” kata Li sambil menepuk-nepuk sakunya. “Kayaknya HP-ku jatuh ke dalam situ.”
“Lalu?” tanya Chang.
“HP-nya lumayan keren,” katanya. “Nokia C201. Bisa foto, video, dapat internet. Siapapun yang nemu boleh ambil, setelah aku pasang videonya ke internet. Gimana tuh?”
Li memanjat ke atas tumpukan bebatuan dan melesat ke dalam gerbang itu. Beberapa penambang lain mengikutinya.
Gelap. Satu-satunya cahaya yang ada datang dari cairan fosforens, menetes dari pulau-pulau yang mengambang jauh di atas. Tanahnya lengket. Li menyalakan lampu di kepalanya.
“Ketemu,” katanya sambil mengais telepon genggamnya keluar dari tanah yang sudah mulai tumbuh mengelilinginya. Sesuatu menjerit ketika ia menariknya keluar. Ia membolak-baliknya untuk memastikan teleponnya masih berfungsi. “Oke, semuanya, senyum. Kita akan jadi terkenal.”
Kawan-kawannya melihat ke sekeliling.
“‘Tujuh Pemberani Menemukan Gerbang ke Neraka, Menyelamatkan Kota Tambang Kecil’, bagaimana kedengarannya?” katanya.
“Coba ke sini,” Chou memanggil dari pinggir pulau tempat mereka berada. “Lihat ini.”
Li mendekatinya dan mengangkat teleponnya, siap memfoto.
“Anjrit.”
Ia menyentak talinya dua kali.