Dibagi dengan Nol

2019/01/06

This is an Indonesian translations to “Division by Zero”, a short story by Ted Chiang // Ini adalah terjemahan bahasa Indonesia untuk cerita pendek berjudul “Division by Zero”, karya Ted Chiang.

1

Hasil dari pembagian dengan nol bukan tak terhingga. Alasannya adalah karena pembagian didefiniskan sebagai invers dari perkalian; jika suatu angka dibagi dengan nol, lalu dikali lagi dengan nol, seharusnya hasilnya adalah angka itu lagi. Tetapi angka yang dikalikan dengan nol hasilnya nol juga. Tidak ada yang bisa dikali dengan nol yang menghasilkan angka bukan nol. Kesimpulannya, hasil dari pembagian dengan nol adalah, secara harfiah, “tidak terdefinisi”.

1a

Renee sedang menatap ke luar jendela ketika Bu Rivas datang.

“Baru seminggu sudah pulang? Cepat sekali, serasa tidak pernah tinggal di sini. Entah kapan saya bisa pulang.”

Renee memaksakan senyuman sopan. “Ah tidak, Bu. Pasti Ibu juga tidak akan lama.” Bu Rivas terkenal manipulatif di sayap itu; semua orang tahu dia hanya besar di mulut saja, tapi para suster dan penjaga gedung memerhatikannya dengan serius, kalau-kalau saja dia tak sengaja berhasil.

“Ha! Mereka pasti lebih senang kalau saya pergi. Tahu tidak berapa kerugian yang bisa mereka derita kalau salah satu dari kita mati di sini?”

“Ya, saya tahu.”

“Itu saja yang mereka khawatirkan. Kerugian ini kerugian itu-”

Renee berusaha tidak mendegar dan mengembalikan pandangannya ke luar jendela. Sebuah pesawat melesat di langit, meninggalkan kepulan ekor putih.

“Bu Norwood?” seorang suster memanggil. “Suami Anda baru datang.”

Renee memberi senyuman sopan lagi ke Bu Rivas dan beranjak pergi.

1b

Carl menandatangani satu lagi berkas hingga akhirnya para suster mengambil formulir-formulir itu untuk diproses.

Ia teringat saat membawa Renee untuk dirawat, juga pertanyaan-pertanyaan basi yang mereka sampaikan saat wawancara pertama. Dia menjawab semuanya dengan datar.

“Ya, dia profesor matematika. Namanya ada di Who’s Who.”

“Tidak, saya di biologi.”

Dan:

“Saya balik untuk mengambil slide saya yang ketinggalan.”

“Tidak, dia tidak mungkin tahu.”

Dan, tentu saja:

“Ya, pernah. Sekitar dua puluh tahun yang lalu, saat saya mahasiswa S2.”

“Tidak. Saya mencoba melompat.”

“Tidak, saya dan Renee tidak saling mengenal saat itu.”

Terus dan terus seperti ini.

Sekarang mereka terbujuk bahwa dia kompeten dan suportif, dan bahwa mereka bisa membebaskan Renee ke program rawat jalan.

Memikirkannya lagi, secara abstrak, Carl tidak menyangka inilah yang akan ia rasakan. Kecuali pada satu momen, ia tidak merasa ada kesan déjà vu dari semua ini. Waktu yang ia habiskan dengan tumah sakit, dengan dokter-dokter dan para suster: semuanya begitu teratur, begitu menjemukkan. Ia sudah mati rasa.

2

Ada satu “pembuktian” yang cukup terkenal, yang menunjukkan bahwa satu sama dengan dua. Pembuktian ini dimulai dengan definisi: ‘Misalkan a = 1 dan b = 1’, lalu diakhiri dengan kesimpulan ‘a = 2b’, dalam kata lain, satu sama dengan dua. Diselipkan diam-diam di tengahnya suatu pembagian dengan nol, dan pada titik itu pembuktian ini telah melampaui batas, meniadakan semua aturan yang ada. Membolehkan pembagian dengan nol berarti membiarkan seseorang untuk bukan hanya menyamakan satu dan dua, tetapi juga membuktikan bahwa semua bilangan yang ada–riil atau imajiner, rasional atau irrasional–semuanya sama.

2a

Sesampainya di rumah bersama Carl, Renee langsung menuju ke meja di ruang kerjanya dan membalikkan semua kertas yang ada di atasnya. Ia menyapu semuanya ke dalam tumpukan. Setiap kali ada bahkan sepojok kertas saja yang menghadap ke atas, ia bergidik. Ia terpikir untuk membakar saja semua kertas itu, tapi aksi itupun hanya akan jadi simbolik. Sekalian saja ia tidak melihatnya.

Dokter-dokternya pasti akan mendeskripsikan ini sebagai perilaku obsesif. Mulut Renee mengerut, malu memikirkan bagaimana ia menjadi pasien orang-orang bodoh itu. Ia ingat ditandai status rawan bunuh diri, ditempatkan dalam sayap tertutup, kabar anginnya di bawah penjagaan 24 jam. Ia ingat wawancara dengan dokter-dokternya dan jelas sekali mereka menganggapnya tolol. Renee tidak manipulatif seperti Bu Rivas, tapi memang semudah itu mengelabui mereka. Bilang saja, “Saya sadar belum sepenuhnya sehat, tapi saya sudah merasa lebih baik,” dan kamu pun sudah dianggap hampir siap untuk keluar.

2b

Carl memerhatikan Renee dari ambang pintu selama sesaat sebelum ia akhirnya beranjak pergi. Ia ingat hari saat ia sendiri dilepaskan dari rumah sakit, genap dua dekade yang lalu. Orang tuanya lah yang menjemputnya, dan di perjalanan pulang mereka melontarkan omong kosong tentang bagaimana semua orang akan senang bertemu dengannya lagi. Ia harus menahan diri agar tidak mencabik lengan ibunya dari pundaknya.

Yang ia lakukan untuk Renee sama dengan apa yang ia inginkan dari mereka pada masa-masanya di rumah sakit. Ia datang setiap hari, walaupun pada awalnya Renee menolak menemuinya, agar ia ada saat Renee memang ingin bertemu dengannya. Kadang mereka mengobrol, dan kadang mereka hanya berjalan mengelilingi gedung. Ia tidak merasa ada yang salah dengan apa yang ia lakukan, dan ia merasa Renee menghargainya.

Tetapi, entah berapapun usahanya, ia tidak merasa ini lebih dari suatu tanggung jawab.

3

Dalam Principia Mathematica, Bertrand Russel dan Alfred Whitehead mencoba membuat landasan matematika yang kaku dengan berbasis logika formal. Mereka memulai dengan apa yang bisa disebut sebagai aksioma, lalu menurunkannya menjadi berbagai teorema yang makin kompleks. Pada halaman 362, mereka sudah menjelaskan cukup banyak hal untuk bisa membuktikan bahwa ‘1 + 1 = 2’.

3a

Saat berumur tujuh tahun, ketika sedang menginvestigasi rumah seorang kerabat, Renee dibuat terpukau oleh penemuannya akan persegi sempurna di lantai marmer rumah itu. Satu baris berisi satu, lalu dua baris berisi dua, tiga baris tiga, empat baris empat; ubin-ubin itu berderet menjadi persegi. Tentu saja. Dari arah manapun ia melihatnya, hasilnya sama. Dan, ia menemukan lagi, setiap persegi lebih besar dari persegi sebelumnya dengan jumlah ubin yang ganjil. Ia seakan mendapat pencerahan. Kesimpulannya penting: ada kesan ketepatan di sini, dikuatkan oleh sentuhan licin dan dingin saat ia meraba lantai itu. Dan cara ubin-ubin itu bersentuhan, begitu teratur dalam garis-garis yang begitu jelas; ia gemetar dengan kepresisian semua itu.

Lalu muncul penemuan lain, pencapaian lain. Disertasi doktoralnya saat ia berumur dua puluh tiga; menakjubkan, kata orang. Artikel-artikel ilmiah yang memenangkan penghargaan. Orang-orang membandingkannya dengan Von Neumann, universitas di seluruh negeri berlomba untuk merayunya. Ia tidak pernah begitu memerhatikannya. Yang ia perhatikan adalah kesan ketepatan yang sama, yang dimiliki oleh semua teorema yang ia pelajari, sama keras kepalanya dengan bentuk fisik ubin-ubin itu, dan sama teraturnya.

3b

Carl merasa siapa dirinya sekarang ini lahir setelah kejadian itu, saat ia bertemu dengan Laura. Saat dibebaskan dari rumah sakit, ia tidak ingin bertemu dengan siapapun, tapi seorang temannya berhasil mengenalkannya ke Laura. Carl menapisnya pada awalnya, tapi Laura lebih mengertinya. Laura menyayanginya ketika ia kesakitan, dan membiarkannya pergi saat ia pulih. Dengan mengenalnya, Carl belajar tentang apa itu empati, dan ia terlahir kembali.

Laura pergi dari kampus setelah mendapat gelar master, sedangkan Carl tinggal di universitas untuk melanjutkan doktoralnya dalam biologi. Carl mengalami berbagai macam krisis dan patah hati dalam hidupnya setelahnya, tetapi tidak pernah keputusasaan.

Carl masih terkagum saat memikirkan Laura. Mereka tidak pernah saling menghubungi lagi setelah lulus S2; bagaimana hidupnya setelah bertahun-tahun ini? Ia memikirkan siapa lagi yang pernah Laura cintai. Carl sadar betul di awal akan cinta apa yang Laura berikan, dan cinta apa yang tidak ia berikan, dan ia menghargainya.

4

Pada awal abad kesembilan belas, matematikawan mulai mengkesplorasi geometri yang berbeda dari geometri Euclid: geometri alternatif ini menghasilkan kesimpulan yang terlihat absurd, tetapi tidak mengandung kontradiksi logika. Di kemudian hari terbukti bahwa geometri non-Euclid konsisten relatif terhadap geometri Euclid: keduanya konsisten secara logika, selama diasumsikan bahwa geometri Euclidean konsisten.

Para matematikawan masih belum menemukan bukti konsistensi geometri Euclid. Pada akhir abad kesembilan belas, bukti terbaik yang mereka punya adalah bahwa geometri Euclid konsisten selama arimatika juga konsisten.

4a

Saat semuanya bermula, Renee tidak menganggapnya lebih dari masalah kecil yang menjengkelkan. Ia berjalan keluar dari ruangannya dan mengetuk pintu ruang kerja Peter Fabrisi yang terbuka “Pete, boleh minta sebentar?”

Fabrisi mengadah dari mejanya. “Boleh kok. Kenapa, Ren?”

Renee masuk ke dalam, tahu betul reaksi yang akan didapatnya. Ia tidak pernah sebelumnya meminta bantuan dari jurusannya tentang persoalan yang ia punya; selalu kebalikannya yang terjadi. Tidak apalah. “Boleh aku minta tolong? Ingat tidak, beberapa minggu yang lalu, aku cerita tentang formalisme yang sedang kubuat?”

Ia mengangguk. “Yang kamu gunakan untuk menulis ulang sistem aksioma.”

“Iya, jadi, beberapa hari yang lalu aku dapat kesimpulan yang agak konyol. Sekarang formalisme mengontradiksi dirinya sendiri. Bisa tolong kamu lihat?”

Ekspresi Fabrisi sesuai perkiraannya. “Kamu ingin minta-- bisa kok. Bisa kubantu.”

“Ok. Masalahnya ada di perhitungan-perhitungan di halaman depan; sisanya untuk referensi saja.” Ia menyodorkan setumpuk dokumen tipis ke Fabrisi. “Kalau aku jelaskan langsung padamu, takutnya kamu juga melihatnya sama sepertiku.”

“Ya, pasti begitu ya.” Fabrisi menengok ke halaman-halaman depan. “Ini mungkin bakal lama.”

“Tidak usah buru-buru. Kalau sempat saja, lihat kalau ada asumsiku yang salah atau terlalu jauh, yang begitu lah. Aku masih mengusahakannya juga, jadi akan kukabari kalau ada apa-apa. Oke?”

Fabrisi tersenyum. “Paling juga nanti sore kamu dateng dan bilang sudah memecahkan masalahnya.”

“Kayaknya tidak: ini butuh mata yang segar.”

Fabrisi melebarkan tangannya. “Akan kucoba.”

“Trims.” Kemungkinan kecil Fabrisi bisa menangkap formalismenya secara keseluruhan, tetapi yang ia butuhkan hanya seseorang untuk memeriksa aspek mekanisnya.

4b

Carl bertemu Renee untuk pertama kalinya di pesta yang digelar teman kerjanya. Ia kagum akan wajahnya yang terlihat sangat datar, dan seringkali sangat murung, tetapi di pesta itu ia melihatnya tersenyum dua kali dan cemberut sekali; pada momen itu ia melihat seluruh raut wajahnya berubah hingga seakan tidak pernah memasang ekspresi yang berbeda. Carl tidak menyangka; ia mengenal wajah yang sering tersenyum dan wajah yang sering mengerut, tetapi tidak pernah sebelumnya ia melihat wajah yang begitu dekat dengan begitu banyak ekspresi tapi biasanya tidak menampakkan apa-apa.

Butuh waktu yang lama hingga ia bisa mengerti Renee, hingga ia bisa membaca ekspresinya. Tetapi ia menghargai waktu yang lama itu.

Sekarang Carl duduk di kursinya di ruang kerjanya, isu terbaru dari jurnal Marine Biology di tangannya, dan mendengarkan suara Renee merobek dan menggumpal-gumpalkan kertas di ruangannya, di seberang lorong. Dia telah bekerja sepanjang malam, dengan kefrustrasian yang makin tinggi dan makin terdengar, walaupun ia selalu memasang wajah datarnya saat Carl menengok.

Carl menaruh jurnalnya di meja, beranjak dari kursinya, dan berjalan ke ambang pintu ruang kerja Renee. Sebuah buku tebal dibiarkan terbuka di mejanya; halaman-halamannya, seperti biasa, penuh dengan ekuasi seperti hieroglif diselingi dengan catatan dalam bahasa Rusia.

Renee membaca halaman-halaman itu dengan sekilas, menolaknya dengan muka masam yang hampir tak terdeteksi, lalu membanting sampulnya hingga tertutup. Carl mendengarnya menggumam kata “sampah” saat ia mengembalikan kitab itu ke lemari buku.

“Nanti darah tinggi loh kalo begini terus.”

“Memangnya aku anak kecil?”

Carl dikejutkan oleh nadanya. “Tidak, bukan maksudku…”

Renee menengok ke arahnya dan membersut. “Aku tahu kapan aku bisa produktif, dan kapan tidak.”

Dingin. “Aku tidak akan menganggumu, kalau begitu.” Carl mundur.

“Terima kasih.” Renee kembali menghadap ke lemari-lemari bukunya. Carl beranjak pergi, berusaha memahami bersutannya.

5

Pada Kongres Matematika Internasional Kedua, di tahun 1900, David Hilbert membuat daftar berisi dua puluh tiga persoalan matematika yang belum terselesaikan yang menurutnya paling penting. Butir kedua di daftar itu adalah permintaan untuk membuktikan bahwa aksioma-aksioma dalam aritmetika bersifat konsisten. Bukti ini, jika ada, akan menjamin konsistensi sebagian besar matematika tingkat tinggi. Yang harus dijamin oleh bukti ini adalah, pada dasarnya, bahwa satu tidak akan bisa dibuktikan sama dengan dua. Hanya sedikit matematikawan yang menganggap hal ini begitu penting.

5a

Renee sudah tahu apa yang akan Fabrisi sampaikan sebelum ia membuka mulutnya.

“Ini hal paling ajaib yang pernah kulihat. Tahu gak mainan buat anak-anak itu, yang masukin balok ke lubang-lubang yang bentuknya beda-beda? Membaca sistem formalmu itu kayak melihat seseorang mengambil satu balok dan memasukkan ke semua lubang di papan, dan semuanya pas.”

“Jadi kamu tidak ketemu salahnya di mana?”

Fabrisi menggeleng. “Enggak. Aku sama nyangkutnya denganmu. Aku cuman bisa ngeliatnya pakai satu cara itu saja.”

Renee sudah tidak tersangkut lagi: ia sudah menemukan perspektif yang sama sekali baru untuk melihat persoalan itu, tetapi hasilnya hanya mengonfirmasi kontradiksi yang sama. “Ya, terima kasih sudah mencoba.”

“Mau minta tolong ke orang lain?”

“Ya, kayaknya akan kukirim ke Callahan di Berkeley. Kita banyak kirim surat sejak konferensi musim semi lalu.”

Fabrisi mengangguk. “Aku lumayan kagum dengan papernya yang terakhir. Kabari ya kalau dia bisa tahu salahnya di mana. Aku ingin tahu juga.”

Bagi Renee, emosi yang ia rasakan jauh lebih kuat dibandingkan sekadar “ingin tahu”.

5b

Apa Renee hanya frustrasi dengan pekerjaannya? Carl tahu Renee tidak pernah benar-benar menganggap matematika sulit, hanya menantang nalarnya. Mungkinkah, untuk pertama kalinya, ia menemukan persoalan yang tidak bisa langsung ia pecahkan? Atau apakah matematika justru bukan seperti itu? Carl sendiri hanya bisa sepenuhnya percaya dengan eksperimen; ia tidak begitu mengerti bagaimana Renee membuat matematika baru. Terdengar konyol, tapi apakah mungkin ia sedang kekurangan ide?

Renee terlalu tua untuk menderita disilusi anak berbakat yang menjadi dewasa biasa-biasa saja. Tetapi kalau dipikir lagi, kebanyakan matematikawan membuat karya terbesarnya sebelum berumur tiga puluh tahun. Mungkin dia hanya gelisah karena statistik itu berhasil mengejarnya, walau terlambat beberapa tahun.

Rasanya tidak mungkin. Carl memikirkan beberapa kemungkinan lainnya. Mungkin Renee mulai merasa masa bodo dengan akademia? Kecewa karena penelitiannya begitu terspesialisasi? Atau hanya lelah dengan pekerjaannya?

Carl tidak percaya kegelisahan seperti itu bisa mengubah sikap Renee; ia bisa membayangkan kesan yang bisa ia tangkap kalau salah satu itu benar, dan tidak satupun kesan itu ia dapat dari Renee sekarang. Apapun itu yang mengusik pikiran Renee, ia tidak bisa membayangkannya, dan ini mengusiknya juga.

6

Pada tahun 1931, Kurt Godel membuktikan dua teorema. Yang pertama menunjukkan bahwa, dalam praktiknya, matematika mengandung pernyataan yang walaupun benar, secara inheren tidak dapat dibuktikan. Bahkan sistem formal sesederhana aritmatika memberi peluang untuk pernyataan yang presis, berarti, dan seakan pasti benar, tetapi tidak bisa dibuktikan benar dengan metode formal.

Teorema keduanya menunjukkan bahwa klaim tentang konsistensi aritmatika hanyalah suatu pernyataan; klaim ini tidak bisa dibuktikan benar dengan cara apapun yang menggunakan aksioma matematika. Dalam kata lain, aritmatika sebagai sistem formal tidak bisa menjamin bahwa ia tidak akan menghasilkan pernyataan seperti ‘1 = 2’; kontradiksi seperti ini mungkin tidak akan pernah ditemui, tetapi mustahil membuktikan bahwa kontradiksi ini tidak akan ditemui.

6a

Sekali lagi, Carl datang ke ruang kerjanya. Renee mengadah dari mejanya; Carl memulai, “Renee, kamu kayaknya lagi–”

Ia menyelanya. “Kamu pengen tahu apa yang mengangguku? Oke, sini kukasih tahu.” Renee mengambil kertas kosong dan duduk di mejanya. “Tunggu sebentar, ini nggak akan lama.” Carl membuka mulunya lagi, tetapi Renee melambai ke arahnya untuk diam. Ia menarik napas yang dalam dan mulai menulis.

Dia menarik garis di tengah halaman, membaginya menjadi dua kolom. Di paling atas satu kolom ia menulis angka “1”, dan di kolom satunya ia menulis “2”. Di bawahnya ia dengan cepat mencoret-coret berbagai simbol, dan di baris di bawahnya ia mengembangkannya menjadi deretan simbol lainnya. Ia meringis selagi menulis; menulis angka-angka itu seperti mengorek papan tulis dengan kuku jarinya.

6b

“Jadi kamu tidak melihat kesalahanmu di mana, itu maksudmu?”

Bukan. Kamu dengerin gak sih? Kamu kira aku frustrasi hanya karena itu saja? Tidak ada kesalahan di pembuktian ini.”

“Jadi maksudmu ada yang salah dari teori yang sudah diterima.”

“Betul.”

“Kamu yaki–” Ia berhenti, tetapi sudah terlambat. Renee menatapnya tajam. Tentu saja ia sudah yakin. Carl memikirkan apa maksud dari ini semua.

“Tidakkah kamu lihat?” tanya Renee. “Aku sudah membuktikan bahwa hampir keseluruhan matematika itu salah: semuanya tidak berarti sekarang.”

Renee mulai terlihat tidak tenang, gelisah; Carl memilih kata-katanya dengan hati-hati. “Tenanglah. Matematika masih bekerja. Dunia ilmiah dan ekonomi tidak akan ambruk dengan adanya kesadaran ini.”

“Itu karena matematika yang mereka gunakan itu hanya mainan. Jembatan keledai, seperti menghitung buku jari untuk melihat bulan mana yang jumlah harinya tiga puluh satu.”

“Itu beda.”

“Kenapa beda? Sekarang matematika tidak ada hubungannya sama sekali dengan kenyataan. Jangan dulu konsep bilangan imajiner atau infinitesimal, sekarang penambahan bilangan bulat pun tidak ada hubungannya dengan menghitung jari di tangan. Satu dan satu selalu menjadi dua di tanganmu, tapi di atas kertas aku bisa memberimu jumlah jawaban yang tak terhingga, dan semuanya sama-sama benar, yang berarti semuanya sama-sama salah. Aku bisa menulis teorema paling elegan yang pernah kau lihat, dan itu pun tidak lebih berarti dari omong kosong.” Ia tertawa pahit. “Orang-orang positivis mengatakan matematika itu tautologi. Mereka terbalik: matematika itu kontradiksi.”

Carl mencoba pendekatan yang berbeda. “Tunggu dulu. Tadi kamu bilang bilangan imajiner, kan? Kenapa ini lebih buruk daripada itu? Matematikawan dulu menganggapnya tidak berarti, tapi sekarang bilangan imajiner sudah diterima sebagai fondasi dasar. Ini sama saja.”

“Ini tidak sama. Solusinya di situ hanya dengan melebarkan konteksnya, dan itu tidak berguna di sini. Bilangan imajiner menambah hal yang baru ke matematika, tapi formalismeku hanya mendefinisi ulang apa yang sudah ada.”

“Tapi kalau konteksnya diubah, dilihat dari cara pandang yang–”

Renee memutar bola matanya. “Tidak! Ini mengikuti aksioma dengan cara yang sama dengan tambah-kurang-kali-bagi; tidak ada cara lain untuk melihatnya. Percayalah padaku.”

7

Pada tahun 1936, Gerhard Gentzen berhasil membuktikan konsistensi aritmatika, tapi untuk melakukannya ia harus menggunakan teknik kontroversial yang dikenal dengan istilah induksi transfinit. Teknik ini bukan bagian dari metode pembuktian yang biasa dipakai, dan tidak meyakinkan untuk sebagai jaminan konsistensi aritmatika. Yang Gentzen lakukan adalah membuktikan sesuatu yang sudah jelas dengan menggunakan asumsi yang meragukan.

7a

Callahan menelepon dari Berkeley, tapi ia pun tidak bisa memberi pertolongan. Ia menyampaikan bahwa ia akan terus memerika hasil kerjanya, tapi sepertinya Renee telah menemukan sesuatu yang fundamental dan menyeramkan. Ia ingin tahu apakah Renee berencana mempublikasikan formalismenya, karena jika memang ada kesalahan yang mereka berdua tidak bisa temui, orang lain di kalangan matematikawan pasti bisa menemukannya.

Renee sudah hampir tidak bisa mendengarnya berbicara. Ia menggumamkan sampai jumpa, bahwa ia akan meneleponnya lagi nanti, dan memutus koneksinya. Ia kesulitan berbicara dengan orang lain akhir-akhir ini, terutama sejak argumennya dengan Carl. Anggota departemennya yang lain sudah mulai menjauhinya. Konsentrasinya juga hilang, dan tadi malam ia bermimpi buruk tentang menemukan formalisme yang memaksanya menerjemahkan konsep apapun ke dalam ekspresi matematika: ia lalu membuktikan bahwa hidup dan mati ekuivalen.

Ini menakutinya: kemungkinan bahwa ia mulai kehilangan akalnya. Ia jelas sudah mulai kehilangan kejelasan nalarnya, dan keduanya tidak jauh berbeda.

Konyol sekali, Renee mengomeli dirinya sendiri. Apakah Godel ingin bunuh diri setelah mendemonstrasikan teorema ketaklengkapannya?

Tapi teorema itu begitu indah, seperti cahaya ilahi, salah satu teorema paling elegan yang pernah Renee lihat.

Pembuktian yang ia buat mencemoohnya, menertawakannya. Seperti teka-teki anak-anak, ia mengejeknya, haha ada yang kelewatan tuh, coba cari di mana salahnya; lalu ketika ia mencari kesalahannya, teka-teki itu berbalik dan mengejeknya lagi, haha haha.

Renee membayangkan Callahan akan memikirkan impilkasi penemuannya pada bidang matematika. Begitu banyak dari bidang ini yang tidak berguna secara praktis; begitu banyak yang hanya ada sebagai teori formal, dipelajari karena keindahan intelektualnya. Tapi ini pun tidak akan bertahan; teorema yang mengontradiksi dirinya sendiri tidak akan ada artinya, dan kebanyakan ahli matematika akan membuangnya karena jijik.

Yang paling membuat marah Renee adalah bagaimana intuisinya sendiri mengkhianatinya. Teorema keparat ini masuk akal; dalam cara kotornya sendiri, teorema ini terasa benar. Renee memahaminya, tahu mengapa teorema ini benar, dan memercayainya.

7b

Carl tersenyum ketika teringat ulang tahun Renee.

“Aku suka! Kok kamu bisa tahu?” Renee berlari turun tangga, memegang sweater di tangannya.

Musim panas lalu mereka berkunjung ke Skotlandia untuk liburan, dan di salah satu toko di Edinburgh ada satu sweater yang selalu ditengok Renee tapi tidak dibelinya. Carl memesannya, dan memasukkannya ke lemari baju agar Renee bisa menemukannya pagi itu.

“Kamu mudah sekali dibaca sih,” Carl menggodanya. Mereka berdua tahu itu tidak benar, tapi keduanya sudah terbiasa dengan gurauan itu.

Itu terjadi dua bulan yang lalu. Hanya dua bulan yang lalu.

Situasi sekarang akan butuh taktik yang berbeda. Carl datang ke ruang kerja Renee dan menemukannya sedang duduk di kursinya, melihat ke luar jendela dengan mata kosong. “Coba tebak apa yang baru kupesan.”

Renee menengok ke arahnya. “Apa?”

“Reservasi untuk akhir minggu ini. Satu suite di Biltmore. Kita bisa bersantai dan tidak perlu melakukan apa-apa–”

“Sudahlah,” kata Renee. “Aku tahu taktik apa yang kamu kerjakan, Carl. Kamu ingin kita mencari kegiatan yang santai dan menyenangkan agar bisa melepas pikiranku dari formalisme ini. Itu tidak akan berhasil. Kamu tidak tahu seberapa kuat genggamannya padaku.”

“Ayolah.” Ia meraih tangan Renee untuk mengajaknya berdiri, tapi Renee menarik tangannya kembali. Carl diam sesaat, hingga tiba-tiba Renee menatapnya dengan pandangan tajam.

“Tahu tidak, aku mulai terpikir untuk mengambil barbiturat? Kadang aku berharap aku lebih bodoh, agar aku tidak pernah terpikir tentang itu lagi.”

Carl tergeming. Kehilangan arah, ia menjawab, “Kenapa kita tidak coba pergi dulu, sebentar saja? Tidak rugi kok, dan mungkin kamu bisa lepas dari memikirkan ini.”

“Ini bukan sesuatu yang bisa dilepas begitu saja. Kamu tidak mengerti.”

“Kalau begitu jelaskan.”

Renee menghembuskan napas dan berpaling sebentar untuk berpikir. “Ini seakan, semua hal di dunia meneriakkan kontradiksi padaku,” ujarnya. “Aku terus-terusan mengekuasi bilangan sekarang.”

Carl terdiam. Lalu, tiba-tiba teringat sesuatu, ia menjawab, “Seperti fisikawan klasik yang bertemu dengan mekanika kuantum. Seakan teori yang selama ini kamu percayai sudah tertinggal, dan teori penggantinya tidak masuk akal, tapi entah bagaimana, semua bukti mendukungnya.”

“Tidak, tidak seperti itu sama sekali.” Penolakannya terdengar seperti ia begitu jengkel. “Ini tidak ada hubungannya dengan bukti; semuanya a priori.”

“Lalu bedanya apa? Bukannya itu jadi hanya bukti penalaranmu?”

“Demi Tuhan, Carl. Perbedaanya sama seperti antara kalau aku menghitung bahwa satu dan dua sama nilainya, dan kalau aku hanya menebaknya saja. Aku tidak bisa memegang konsep kuantitas tak-sama di pikiranku sekarang; semuanya sama saja.”

“Tidak mungkin, lah,” ujar Carl “Tidak ada yang bisa merasa seperti itu; itu seperti mempercayai enam hal mustahil sebelum sarapan.”

“Kamu tahu apa tentang apa yang aku bisa rasakan?”

“Aku sedang mencoba mengerti.”

“Lupakan saja.”

Kesabaran Carl sudah hilang. “Oke kalau begitu.” Ia pergi ke luar ruangan dan membatalkan reservasi mereka.

Mereka jarang sekali bercakap sejak saat itu, berbicara hanya seperlunya. Tiga hari setelah itu, Carl teringat akan slide yang ketinggalan, dan menyetir kembali ke rumah, dan menemukan pesan Renee di meja.

Carl mendapat dua pencerahan pada momen-momen setelah itu. Yang pertama datang padanya saat ia berlari, memikirkan apa mungkin Renee mendapat sianida dari departemen kimia: kesadaran bahwa, karena ia tidak mengerti apa yang telah mendorong Renee untuk melakukannya, Carl tidak merasa apa-apa padanya.

Pencerahan kedua datang saat ia menggedor-gedor pintu kamar, berteriak pada Renee: ia mengalami déjà vu. Momen ini adalah satu-satunya yang bisa ia mengerti karena ia pernah juga berada di situ, tetapi semuanya terbalik. Ia ingat berada di sisi lain pintu yang terkunci, di atap gedung, mendengar temannya menggedor-gedor pintu dan berteriak padanya untuk tidak melakukannya. Saat ia berdiri di situ, di depan pintu kamar, ia mendengar isakan tangis Renee, terduduk di lantai dilumpuhkan rasa malu, sama persis dengan apa yang dirasakannya saat ia sendiri berada di sisi itu.

8

Hilbert pernah berkata, “Jika pemikiran matematis ternyata cacat, di mana kita bisa menemukan kebenaran dan keyakinan?”

8a

Apakah percobaan bunuh dirinya akan melekat padanya seluruh hidupnya? Renee bertanya-tanya. Ia merapikan ujung-ujung kertas di mejanya. Apakah mulai dari sekarang ini orang-orang akan, mungkin secara tidak sadar, melabelinya tidak stabil? Ia tidak pernah bertanya ke Carl apakah dia juga merasa kegalauan semacam ini, mungkin karena Renee tidak pernah menyalahkan percobaannya sendiri padanya. Kejadian itu sudah bertahun-tahun yang lalu, dan siapapun yang melihatnya sekarang pasti langung menganggapnya sebagai seseorang yang utuh.

Tapi Renee tidak yakin hal yang sama akan terjadi padanya. Sekarang ini ia tidak bisa mendiskusikan matematika secara logis, dan ia tidak yakin apakah akan bisa lagi. Kalau koleganya melihatnya sekarang, mereka hanya akan bilang, Mungkin bakatnya sudah habis.

Mejanya selesai, Renee meninggalkan ruang kerjanya dan pergi ke ruang tengah. Akan ada perubahan radikal pada fondasi matematis setelah formalisme bersirkulasi di kalangan akademis, tetapi akan sedikit dari mereka yang sama terpengaruhnya. Kebanyakan dari mereka akan seperti Fabrisi; mereka akan mengikuti pembuktian itu secara mekanis, dan dibuat yakin olehnya, dan begitu saja. Mereka yang bisa merasakannya sama tajamnya dengan yang ia rasakan hanyalah orang-orang yang bisa menggapai kontradiksi itu, yang bisa menalarkannya. Callahan salah satunya; Renee ingin tahu bagaimana ia menerimanya sejauh ini.

Renee membuat bentuk lengkung-lengungan dengan debu di atas meja. Sebelum semua ini terjadi, ia mungkin akan memparameterisasi lengkungan tersebut, menghitung karakteristiknya. Sekarang rasanya tidak ada gunanya. Semua visualisasinya telah ambruk begitu saja.

Ia, seperti banyak di kalangannya, selalu memahami matematika bukan sebagai sesuatu yang mengambil arti dari alam semesta,tetapi justru memberi sejumlah arti ke alam semesata. Entitas fisik bukan lebih atau kurang agung antara satu dan lainnya, bukan mirip ataupun tak mirip; mereka hanya ada. Matematika berdiri seluruhnya sendiri, tetapi ia memberi maksud semantik pada entitas-entitas tersebut, mengategorikan mereka dan menyambungkan satu dan lainnya. Ia tidak mendeskripsikan sifat intrinsik, hanya suatu interpretasi.

Tapi tidak lagi. Matematika ternyata inkonsisten jika dilepaskan dari entitas fisik, dan teori formal bukanlah apa-apa jika tidak konsisten. Matematika ternyata empiris, tidak lebih dari itu, dan Renee sama sekali tidak tertarik padanya.

Ke mana ia harus berpaling sekarang? Renee kenal dengan seseorang yang melepaskan akademia untuk menjual kerajinan tangan dari kulit. Ia akan butuh waktu untuk menemukan kembali arahanya. Dan itulah yang selama ini Carl berusaha lakukan untuknya.

8b

Di antara teman-teman Carl, ada sepasang perempuan yang saling bersahabat, Marlene dan Anne. Beberapa tahun yang lalu, ketika Marlene ingin bunuh diri, ia tidak berpaling ke Anne untuk bantuan: ia berpaling ke Carl. Keduanya terbangun sepanjang malam, kadang mengobrol dan kadang berbagi kesunyian. Carl tahu Anne merasa sedikit iri terhadap apa yang ia punya bersama Marlene, terhadap keunggulaan apa yang ia miliki hingga bisa begitu dekat padanya. Jawabannya sederhana: hanya perbedaan antara simpati dan empati.

Carl telah meberikan persahabatan semacam itu lebih dari sekali dalam hidupnya. Ia senang bisa membantu, tentu saja, tetapi lebih dari itu, ia merasa sudah tempatnya untuk duduk di kursi kedua, memainkan peran orang kedua.

Ia selalu punya alasan sendiri untuk menganggap kepedulian sebagai bagian dasar sifatnya, tapi tidak lagi. Ia selalu percaya, merasa, bahwa ia bukan apa-apa kalau tidak empatis. Tapi sekarang ia menemui sesuatu yang tidak pernah ia ketahui sebelumnya, dan semua instingnya menjadi hampa dan tidak berguna.

Jika saat ulang tahun Renee ada yang memberitahunya bahwa ia akan merasa seperti ini dalam dua bulan ke depan, ia akan menertawakannya. Mungkin dalam dua tahun; Carl tahu apa yang bisa waktu lakukan padanya. Tapi dua bulan?

Setelah menikah enam tahun, ia tidak lagi mencintai Renee. Carl membenci dirinya karena pikiran itu, tapi sudah terlihat jelas bahwa Renee sudah berubah, dan sekarang Carl tidak memahaminya ataupun tahu apa yang harus ia rasakan padanya. Kehidupan intelektual dan emosional Renee begitu saling terhubung, dan sekarang setengahnya yang ia mengerti pun sudah jauh di luar gapaiannya.

Refleksnya untuk memaafkan muncul dengan cepat, berusaha meyakinkannya bahwa tidak mungkin seseorang tetap suportif melewati semua jenis krisis. Jika seorang istri tiba-tiba terkena penyakit mental, suaminya akan berdosa jika meninggalkannya, tetapi ia bisa dimaafkan. Jika ia tetap tinggal, berarti ia menerima hubungan yang sudah berbeda, dan tidak semua orang bisa bertahan dengan ini. Carl tidak pernah menyalahi seseorang yang lari pada saat seperti ini, tapi lalu selalu ada pertanyaan yang tidak terucap: Apa yang akan ia sendiri lakukan? Dan jawabannya selalu sama: aku akan tetap tinggal.

Munafik.

Yang terburuk adalah, ia pernah ada di situ. Ia pernah terobsesi dengan rasa sakitnya hingga hampir meruntuhkan kesabaran orang lain, dan seseorang telah menemaninya melewati itu semua hingga ia pulih. Tidak bisa dielakkan ia akan meninggalkan Renee, tapi ini adalah dosa yang tidak bisa ia maafkan.

9

Albert Einstein pernah berkata, “Selama proposisi matematika menggambarkan realitas, mereka tidak pasti; dan selama mereka pasti, mereka tidak menggambarkan realitas.”

9a = 9b

Carl sedang berada di dapur, memasak kampri untuk makan malam, ketika Renee datang. “Bisa kita bicara sebentar?”

“Bisa.” Mereka duduk di meja. Renee menatap ke jendela: kebiasaannya saat memulai pembicaraan yang serius. Carl tiba-tiba takut akan apa yang ia akan katakan. Dia tidak berencana menyampaikan kabarnya sebelum Renee bias pulih kembali, mungkin setelah beberapa bulan. Sekarang ini terlalu cepat.

“Aku tahu memang tidak terlihat–”

Tidak, Carl berharap, jangan katakan ini. Tolong jangan.

“–tapi aku sangat berterimakasih kamu ada di sini bersamaku.”

Tersayat, Carl menutup matanya, tetapi beruntungnya Renee masih menatap ke luat jendela. Ini akan sangat, sangat sulit.

Renee masih berbicara. “Masalah-masalah yang ada di kepalaku–” Ia berhenti sebentar. “Aku tidak pernah membayangkan akan pernah ada. Kalau ini depresi biasa, aku tahu kamu akan mengerti, dan kita bisa menanganinya.”

Carl mengangguk.

“Tapi apa yang terjadi, aku seakan teologiwan yang membuktikan bahwa Tuhan tidak ada. Bukan hanya takut akan itu, tapi tahu bahwa itu fakta. Terdengar absurd, ya?”

“Tidak.”

“Aku tidak bisa menjelaskan perasaan ini padamu. Ada sesuatu yang aku percayai nyata, dengan dalam, dengan implisit, dan hal itu tidak nyata, dan akulah yang membuktikannya.”

Carl membuka mulutnya untuk menjawab bahwa ia tahu persis apa yang dimaksudnya, bahwa ia merasakan hal yang sama dengannya. Tapi ia menahan dirinya, karena ini adalah empati yang memisahkan mereka, bukan menghubungkan mereka, dan ia tidak bisa menyampaikan itu padanya.