Benih dan Api

2020/09/05

This is an Indonesian translation of “Seed and Cinder”, a short story by Jei D. Marcade // Ini adalah terjemahan bahasa Indonesia untuk cerita pendek berjudul “Seed and Cinder”, by Jei D. Marcade. // Original text: Click


Pada suatu malam di pegunungan, kamu memakan kematiannya.

Entah apa yang mendorongmu melakukannya. Sekadar pemberontakan picik. Siapapun juga bisa terpikir untuk melakukannya setelah hari yang melelahkan seperti ini.

Apapun alasannya, ketika Kyoseong mengalihkan pandangannya darimu, tangan rampingnya di pinggang, kamu mencabut kematiannya dengan rahangmu dan menggitnya dengan keras. Kematiannya terbelah dalam mulutmu seperti petir yang dipaksa masuk ke dalam kacang. Gemanya menggemuruh ke pepohonan, terus mengalir hingga ke ujung tebing. Segerombol gagak, tersinggung, melayang pergi.

“Tadi itu apa?” tanyanya. Suaranya lebih halus daripada sedetik sebelumnya, ketika kalian bertengkar.

Dan kamu, makhluk rakus dan pendendam, cepat-cepat menelan kematiannya dan bertanya, “Tadi apanya?”

“Suara itu. Perasaan… itu?.” Tangannya bergerak ke perutnya, seakan menutup luka.

Kamu tidak bisa berbohong, jadi kamu hanya mendengus dan berharap dia menganggapmu hanya tidak mau tahu.

“Lupakanlah. Aku lelah.” Dia berjalan turun sedikit, masih bersandar ke kaki kirinya. Terhuyung, ia kembali lagi. Begitu enggan membiarkan amarah bertumpuk. “Yang tadi kubilang, bahwa kamu…”

“Bahwa aku pengecut.”

“Bahwa kamu punya keluhan.” Matanya menutup, lebih lama dari sekadar mengedip. “Agak keterlaluan juga aku langsung menganggapnya remeh.”

Kamu menarik napas yang lamban dan hati-hati, dan mengendus hingga yakin tidak ada sedikitpun bau kebohongan di antara kalian. Tapi, beberapa saat sebelumnya juga tidak ada. Sungguh mukjizat, kemampuan menyatakan dua hal yang saling bertentangan dengan tekad yang sama, hanya dibatasi beberapa menit.

“Tapi,” kamu mendengus, “yang kukatakan itu semuanya benar.”

Ia tertawa dengan agak sedih. “Aku tahu, Geon.” Nama yang mereka beri untukmu terdengar begitu pas dalam mulutnya, seakan dipahat untuk mengisi ruang di antara lidah dan giginya. Mungkin suatu hari kamu akan menyukainya juga, akhirnya.

Kamu berkata padanya, “Maafkan aku.”

Ia menengok padamu saat mendengarnya. Pundaknya tidak sedegap sebelumnya, seakan ada beban yang baru diangkat darinya. Ia menaruh tangannya di atas dahimu yang lebar, di antara matamu, jemarinya mengitarinya ujung tulang yang mencuat dari mahkotamu. Kamu membiarkannya mengira ia mengerti alasan kamu meminta maaf.

Kematiannya masih terasa manis dan lengket di lidahmu.


Kamu tidak ingat apa yang menarikmu turun dari pegunungan. Musik, mungkin. Bau daging yang dipanggang dan madu bakar. Kamu mungkin akan baik-baik saja kalau kamu tidak mendekati perkotaannya—sambaran petir yang kadang terjadi pada musim kemarau sudah cukup untuk membantumu hidup selama bertahun-tahun—tapi sesuatu mendorongmu untuk menggerakkan cakarmu di atas tanah keras yang menjadi alas jalan ratu mereka.

Mereka mengejutkanmu ketika mereka belajar membuat bangunan yang bertahan bertahun-tahun. Hidup mereka begitu singkat, satu saat ada di sini dan lalu menghilang lagi sebelum kamu bangun, satu kedipan dan mereka menjadi mayat. Kamu tidak menyangka makhluk yang rapuh dan ceking ini bisa bertahan cukup lama untuk belajar tentang lahan yang mereka pijaki. Tapi mereka bisa belajar, belajar dan menyebar seperti noda yang kemudian menyelebungi seluruh lembah, beradaptasi dengan perubahan musim. Dan mereka mengubah dunia agar lebih bisa menerima mereka, lebih mudah menerima mereka. Tangan-tangan pintar mereka membuat peralatan dan tempat berteduh dari tanah dan besi, kayu dan air, bahkan api.

Kamu bukan yang pertama dari kaummu yang memasuki dunia mereka; kamu beruntung tidak mengalami pertemuan pertama yang canggung itu, tidak mendengar teriakan takut mereka, tidak merasakan ketukan pedang dan tombak yang tidak berguna melawan sisikmu. Ketika kamu mengambil langkah pertamamu memasuki gerbang kota mereka, mereka sudah menyiapkan proses untukmu. Mereka menunjukimu jalan ke kantor sipil.

Kamu tidak pernah memiliki nama sebelum datang ke sini. (Untuk apa ombak atau lembah atau embusan angin es memiliki perintilan semacam itu?) Mereka akan memilih satu nama dari lotere untukmu, nanti.

“Apa Anda sudah punya alamat?” tanya petugas sipil itu, wajahnya suram karena laporannya tidak sempurna. Penanya bergetar dengan penuh harap di atas kertas.

Kamu melirik penanya dengan matamu. “Untuk apa?”

“Agar brigade api tahu harus mencari Anda ke mana.”

“Mencariku?”

“Ketika ada kebakaran yang Anda bisa padamkan.”

“Ketika ada api,” kamu mengeram, “aku akan tahu.”


Suatu hari nanti, kamu akan menelan matahari.

Ini adalah janji yang disimpan dalam riak-riak ototmu, dalam gema halus di tulang-belulangmu. Sekarang ini kamu kecil, tapi suatu hari nanti kamu akan menjulang di atas pohon pinus tertua sekalipun. Jejak kakimu akan membentuk danau. Ketika saat itu tiba, tidak akan ada api di dunia ini yang cukup besar untuk memuaskan nafsumu.

Ini bukan rahasia. Para kelinci membahas ini di antara rerumputan. Sungai bergosip tentang ini pada hujan.

Orang-orang di kota pun juga akan tahu, kalau saja mereka peduli untuk belajar bahasa selain yang mereka miliki.


Pada sore hari setelah kalian pertama berkenalan, Kyoseong menemukanmu di lubang pohon tempat kamu senang beristirahat. (Setiap tahun, kamu berpindah makin jauh dari pinggir kota. Dokumenmu sudah berpuluh tahun tidak diperbarui.)

“Aku tidak tahu,” katanya, tangannya penuh dengan kue beras, kesemak, dan ikan asin, “apa lagi yang bisa kamu makan.”

Dia adalah partner (penjinak) keempat yang mereka pasangkan denganmu, yang lainnya sudah lama mati atau pensiun, tapi dia adalah yang pertama membawakanmu minuman anggur dan menuangkannya ke mangkuk. Dia duduk di tanah di sebelahmu, berhati-hati agar tidak menginjak ekormu.

Kamu mengendus-ngendus persembahannya dan menerima satu buah yang bulat. Kulitnya halus dan mudah terkupas dengan sedikit tekanan dari cakarmu. Sedekat ini, kamu bisa mendengar napas gugupnya.

“Aku tidak akan menyakitimu,” kamu bilang padanya, jadi dia tahu itu benar.

Dia mengangkat bahu, seakan itu tidak pernah terpikir padanya. “Apa itu?” Dia mengetuk dahinya sendiri.

“Tanduk.”

“Itu bukan tanduk.”

Kamu mendengus kesal. “Suatu hari, ini akan jadi tanduk.” Tanduk itu akan menjadi caramu mencungkil matahari dari langit, tapi kamu tidak mengatakan ini padanya. Sekarang ini dia hanya akan mengira kamu membual.

Kyoseong mengamati secarik daun bambu, lalu membuangnya dan mengambil daun lain yang bagimu terlihat sama saja. Dia menariknya ke mulutnya lalu menciptakan lagu seperti nyanyian burung dan kepikan cicada. Sihir seperti ini berada di luar jankauanmu. Telinganya memerah, tapi kamu tahu dia senang melihatmu terpukau.

Demi menjaga sopan santun, Kyoseong memperlihatkan kotaknya padamu. Kaumnya begitu terobsesi dengan kotak. Mereka tinggal di dalam kotak, menyimpan barang-barang mereka dalam kotak. Mereka berkelana dalam kotak, dan setelah mereka tamat bergerak, keluarga mereka menyimpan tulang belulang mereka di dalam kotak yang dikubur dalam tanah. Kyoseong tidak punya keluarga. Dia tinggal sendirian, tertutup dari angin dan bintang, dikelilingi di semua sisi dengan kotak yang dipenuhi orang asing.

Permukaan kotaknya ditutupi debu. “Menurutku ini suram sekali,” kamu bilang padanya.

Dia memerhatikan barang-barangnya. “Menurutku juga.”


Dia mengajarimu membaca. Pada jam-jam sunyi di antara patroli dan pelatihan, Kyoseong memperlihatkanmu goresan dan lekukan dari nama yang kamu pinjam dan memintamu mengoreknya lagi dan lagi di tanah.

Kamu merasa tidak nyaman melihatnya di situ, seperti jimat. Kamu menghapusnya lagi.

Sebagai gantinya, kamu mengajarinya cara mengecap kebohongan. Menangkap tatapan yang mengelak, detakan jatung yang terlewat. Beberapa pengamatan ini agak sulit baginya, tapi dia cepat belajar, dan begitu ingin tahu. Kamu pun baru sadar bahwa kamu suka mengajari.

Kamu terbangun pada suatu malam, cakarmu menyentak, masih menuliskan namanya di udara.


“Kenapa kalian membangun begitu berdekatan?” kamu bertanya pada Kyoseong sambil mengunyah api. Bekas-bekas rumah teh roboh ketika kamu menghirup api terakhir dari kayu-kayunya yang kehitaman. Kamu meresapi percikannya di dalam kerongkonganmu.

Kalian datang sebelum anggota brigade lain tiba, menyusup melewati gang yang hampir tidak cukup besar untuk bahumu yang lebar, tapi tidak cukup cepat untuk tiba sebelum kebakaran itu menyebar ke seluruh perumahan, api menari di atas berbagai atap.

Genteng tanah liat meluncur dari atas, lalu pecah di kaki Kyoseong. Dia melompat mundur, cukup dekat sampai pinggangnya bersentuhan dengan badanmu. Bahaya terlewati, tapi dia tetap tidak bergerak.

“Mungkin kami masih mengingat saat-saat ketika kami saling bergerombol dalam dingin dan gelap. Perasaan itu diterjemahkan dalam arsitektur kami.”

“Perasaan apa?”

“Kesepian. Ketakutan. Kecacatan manusia pada umumnya.” Dia tersenyum padamu, pandangannya tidak goyah, walaupun kamu tahu ia kesakitan menatapi matamu yang membara. Asap menyusup di antara jubah raminya, melewati ikatan rambutnya. Kamu mengelak.

“Bodoh sekali,” kamu mengerang, “membiarkan sedikit percikan api menghancurkan kerja keras kalian menjadi abu.” Nada suaramu seperti menyalahkan, seakan dia sendiri yang bertanggung jawab atas miopia perencanaan kota kaumnya.

Orang lain akan gemetar melihat kilauan gigimu dalam kegelapan, tapi Kyoseong hanya tertawa. “Memang siapa yang tidak menanam benih kejatuhannya sendiri?”

Kalian membantu mencari orang-orang yang selamat. Kyoseong mencari jalan melewati reruntuhan gedung yang hitam terbakar, melompat-lompat seperti kambing. Nanti, tim bantuan akan menjajari mayat di jalanan.

Dia bersandar padamu untuk menyeimbangkan dirinya, lalu ia memiringkan kepalanya, kaget, “Kamu tambah tinggi, ya?”


Karena kamu adalah partnernya, kamu sadar ketika Kyoseong mengeluarkan kematiannya dan memeriksanya di bawah sinar-sinar halus sebelum matahari terbit. Dia memutarbaliknya, menatapinya dengan mengernyit penuh harap, ekspresinya yang sudah kamu hafalkan.

Menurutmu ini mubazir, begitu peduli dengan apa yang akan terjadi nanti ketika sekarang pun mereka hampir tak punya.

Bahkan kamu, yang sudah menimbun berabad-abad, tidak punya banyak waktu berpikir akan apa yang akan terjadi pada dunia, nanti, ketika matahari satu-satunya menghangatkan lambungmu.

Kamu tidak pernah takut akan hari esok.


Kebakaran selanjutnya, Kyoseong tiba lebih dulu. Sebuah perumahan terbakar, mungkin dari lentera yang terselip dari gantungannya atau dijatuhkan seseorang yang mabuk. Dia sedang membantu menggiring orang-orang ke luar jalur api ketika dia berhenti, menengok ke belakang.

Beberapa saat, dia hanya menatapi api yang menjulang.

Lalu satu dinding goyah. Atap di atasnya roboh. Kamu mencapainya sebelum atap itu menimpa kepalanya, tapi hampir saja tidak.

Ketika kupingmu tidak lagi mendengung, kamu bisa mendegar teriakan redam anggota brigade dari sisi lain reruntuhan. Kegelapan merajalela.

Kyoseong terbatuk lemas di bawahmu. Ujung jarinya menyentuh dadamu, tempat sisikmu yang keras bertemu dengan bulu yang kasar. “Geon?”

Kamu mendengus, tapi yang keluar dari hidungmu hanya desahan lemah.

“Kita tertindih bangunan?”

Kamu mencoba menggeser pundakmu. Tidak ada yang bergerak, tapi tiang yang menekan pundakmu menderit menyeramkan. Kamu berhenti. Beban seberat ini bisa meremukkannya. Mungkin akan meremukkannya, kalau kakimu tidak kuat menahan sampai anggota brigade lain menggali kalian keluar.

Kamu menelan komentar pedas di mulutmu sebelum bisa keluar, menukarnya dengan pertanyaan yang netral. “Kamu terluka?”

“Tidak. Sepertinya tidak. Kakiku tertindih, tapi tidak sakit.” Suaranya menjadi datar. “Rasanya seperti tidak terjadi apa-apa. Kamu?”

“Aku tidak apa-apa.”

Ketakjuban mendatanginya. “Kukira kamu tidak akan bisa menahan itu semua.”

“Secara umum, hanya sesama makhluk abadi bisa membunuh makhluk abadi.”

Hawa panas mulai menggulung di sekitarmu. Bukan masalah bagimu, tapi kamu bisa melihat keringat di alis Kyoseong, mengalir dan mengumpul ke lehernya.

Suaranya waswas. “Kalau bisa, aku tidak ingin terbakar hidup-hidup.”

Ketika kamu menurunkan dagumu, hidungmu bersentuhan dengan leherya. Dia menelan. Kamu tahu dia sedang membayangkannya, nyawanya terpompa di antara taringmu. Jemarinya mengelus suraimu.

“Jangan bicara,” katamu. “Kamu membuang-buang udara.”

Kalian menunggu.


Kalian bertengkar.

Tidak penting bertengkar tentang apa. (Kamu menyebutnya lembek. Dia punya sebutan yang lebih buruk lagi untukmu. Tapi tetap saja, jarak yang sebutan-sebutan itu buat tidak bisa memisahkan kalian.)

Kamu curiga kamu tetap akan melakukannya, apapun yang kalian pertengkarkan: mencuri kematian Kyoseong darinya, justru karena dia begitu menghargainya.

“Maafkan aku.”

Dia membiarkan dirinya menyentuhmu tanpa alasan. Dia harus jinjit untuk melakukannya. “Kamu bohong,” katanya.

Dia cepat belajar. Dia akan terbiasa dengan keabadian.

Dan besok, kamu berpikir, kamu akan memberitahunya.

Tentang matahari.